Memoar
Cinta Maria
(Resensi
Novel Eleven Minuts, P. Coelho)
“Sakit rasanya sewaktu
aku kehilangan pria-pria yang membuatku jatuh cinta. Tapi sekarang aku yakin
tak ada yang namanya kehilangan, sebab orang tidak memiliki orang lain. Itulah
pengalaman kebebasan yang sesungguhnya: mempunyai hal yang paling penting di dunia,
tanpa memilikinya…”...dari catatan harian Maria.
![]() |
| I am alone |
Berawal
dari sebuah kota kecil di pedalaman Brasil, Maria mulai merajut mimpi. Maria
hidup dan tinggal bersama ayahnya yang sebagai salesmen dan ibunya seorang
penjahit. Sebagaimana gadis-gadis di pedalaman Brasil yang mempunyai impian
masa depan cemerlang, demikian juga Maria. Ketika beranjak dewasa, dia
berkhayal bertemu pria idaman yang kaya, tampan dan cerdas. Kemudian menikah,
mengenakan gaun pengantin, mempunyai dua anak dan tinggal di rumah yang indah
dengan pemandangan ke laut. Itu sebabnya Maria senantiasa berharap suatu hari
nanti Pangeran Idamannya datang, menjemputnya dan membawanya pergi dan mereka
akan menaklukkan dunia bersama-sama. Disana, di pedalaman Brasil itu, Maria
mulai mengenal cinta pertamanya. Cinta pertamanya tumbuh ketika ia masih
berumur sebelas tahun. Cinta pertamanya jatuh pada anak laki-laki yang tinggal
didekat rumahnya. Maria mulai merasakan ada perubahan dalam dirinya disaat
berjumpa dengan anak laki-laki itu. Kadang ia gugup, takut atau hatinya
berdebar kencang. Namun Maria terpaksa memedamkan perasaan cinta dan
kepedihannya dalam diam, karena tak mampu mengatakan perasaan yang sebenarnya.
Disaat cinta pertamanya merasuki jiwa dan pikirannya, Maria mengalami lagi perubahan
dalam dirinya. Ia bingung dan menangis, ketika suatu pagi ia bangun dan melihat
darah segar dalam selimut dan selangkangannya. Ia ingin melarikan diri ke hutan
rimba dan membiarkan tubuhnya dimakan binatang liar. Namun Maria tersadar
ketika ibunya meceritakan kalau hal itu wajar bagi setiap anak remaja yang
mulai beranjak dewasa. Hal itu dimanakan mensturasi dan normal bagi bagi setiap
perempuan, kata ibunya. Sejak itu Maria mulai tampil dewasa. Ia berjanji tak
akan takut lagi kalau didekati anak laki-laki itu. Ia pun pergi ke Gereja di
kota itu dan berikar di hadapan patung Santo Antonius bahwa dia akan mengambil
inisiatif dan mengajak anak laki-laki itu bicara. Namun sayang, ketika liburan
sekolah usai, ia tidak menemukan lagi pangeran cintanya. Dari teman-temannya,
ia mengetahui kalau pangeran cintanya itu telah pindah di tempat yang jauh.
Pada saat itulah Maria menyadari bahwa ada hal-hal tertentu yang kalau sudah
hilang tidak bisa diraih kembali. Tidak ada yang tahu kemana anak laki-laki itu
dan orang tuanya pindah. Maria merasa dunia ini terlalu luas, cinta sangatlah
berbahaya dan perawan Maria adalah orang suci yang tinggal jauh di surga sana,
tidak mau membuka telinga bagi doa anak-anak. Maria memutuskan suatu hari nanti
ia mengikuti jejak anak laki-laki itu. Dia juga memohon pada Perawan Maria agar
membawanya pergi. Tiga tahun berlalu. Maria mulai rajin membaca majalah erotik,
menonton telenovela-telenovela dan mulai menulis buku hariannya. Ketika baru
menginjak usia lima belas tahun, dia jatuh cinta lagi pada seorang pemuda yang
dikenalnya dalam acara prosesi Minggu Suci. Maria tidak mau mengulangi
kesalahan masa kecilnya. Mereka mengobrol, menjadi sahabat dan mulai pergi
bersama ke bioskop atau ke pesta-pesta. Suatu hari Maria dan kekasihnya berjalan-jalan
di pedesaan. Mereka mengobrol sedikit dan pemuda itu memeluk dan menciumnya.
Ciuman pertamanya. Pemandangan di hadapan merekapun sangat indah dan
seakan-akan memberikan mereka kesempatan; burung-burung bangau beterbangan,
matahari terbenam, keindahan liar daerah semi gurun, suara musik di kejauhan.
Mereka berciuman sambil meniru adegan yang dilihatnya di bioskop,
majalah-majalah ataupun televisi. Malam itu Maria menulis dalam buku hariannya.
“Saat bertemu seseorang dan jatuh cinta, seisi alam semesta berpihak pada kita.
Ini kulihat hari ini saat matahari terbenam”… (Hal 22). Namun tiga hari setelah
ciuman itu, Maria mendapatkan laki-laki itu menggandeng tangan salah seorang
sahabatnya. Maria merasa sekan-akan dunia ini runtuh, ia menangis semalam-malaman
dan patah hati. Ia menyimpulkan bahwa cinta bukan untuknya dan dia tidak
ditakdirkan untuk dicinta. Dia ingin menjadi biarawati saja, mengabdikan sisa
hidupnya pada cinta yang tidak menyakitkan dan tidak meninggalkan bekas-bekas
luka pedih di hatinya, yakni cinta kepada Yesus. Mariapun mulai belajar satu
hal yang sangat baru baginya yakni masturbasi. Ia mencari kenikmatan dan
kepuasan hanya dengan memainkan bagian-bagian sensitif dalam dirinya.
Masturbasi memberinya kenikmatan amat dalam, meskipun Gereja mengajarkan bahwa
seks merupakan dosa terbesar. Pada suatu acara kencan, Maria kehilangan
keperawanannya di jok belakang mobil. Ia membiarkan sang kekasihnya
memerawaninya, karena ia sudah bosan menjadi satu-satunya yang masih perawan di
antara teman-temannya. Maria sadar, hal yang indah menakjubkan namun berbahaya
itu adalah cinta. Ia pun menguraikannya dalam catatan hariannya. “Aku ingin
memahami cinta. Aku merasa sangat hidup ketika jatuh cinta, tapi segala yang
kumiliki saat ini, betapapun menariknya, tidak bisa sepenuhnya membangkitkan
semangatku. Cinta sungguh menakutkan”….(Hal 29). Demikianlah tahun-tahun remaja
Maria berlalu dengan segala kepahitan cinta. Paulo Coelho mengawali narasi
novelnya dengan mendeskripsikan arti cinta sebagaimana yang dipahami dan
dirasakan oleh kaum remaja umumnya. Cinta datang berawal dari sebuah perjumpaan
dan cintapun pergi tanpa suatu kata perpisahan. Cinta sungguh menakutkan,
berbahaya dan hanya menimbulkan penderitaan, demikianlah pengalaman cinta yang
dialami oleh Maria. Pengalaman cinta Maria ini dan disertai dengan
kesenangannya berpetualang, akhirnya membawa Maria menuju kota Jenewa, Swiss.
Seseorang yang dikenalnya di Rio de Jeneiro, membawanya ke Jenewa dan berjanji
menjadikan Maria sebagai artis terkenal, ternyata kosong belaka. Maria terpaksa
menjalani profesi menjadi pelacur demi bertahan hidup. Profesi barunya ini
semakin menjauhkan Maria untuk menggapi cinta sejati. Dalam Eleven Minuts,
Paulo Coelho membongkar kesakralan dan ketabuan seksualitas manusia.
Seksualitas menjadi tema sentral dalam novelnya ini. Disana Paulo Coelho
mendobrak konstruksi tubuh seorang wanita secara terang-terangan. Bisa
dikatakan, tubuh wanita yang diwakili oleh tokoh Maria sebagai pelacur menjadi
menu utama dalam novelnya ini. Ia menggambarkan secara detail bagian-bagian
sensitif yang memberikan sensasi, kenikmatan dan kepuasan. Mulai dari klitoris
sampai pada soal G-spot dan perdebatan manakah yang memberikan rangsangan dan
kenikmatan, klitoris atau G-spot. Ataupun mengenai waktu ideal untuk mencapai
orgasme; delapan menit, sebelas menit atau lima belas menit. Bahkan Coelho
menganalogikan vagina organ seks itu sebagai sebuah bangunan. “Setelah lewat
pintu masuk, cari dia di lantai pertama, dijendela belakang”….(Hal 294). Itulah
G-Spot, letak kenikmatan pada diri setiap wanita. Sepintas kita bisa
mengkritik, bahwa novel ini seakan-akan menyudutkan kaum wanita. Dimana dalam
novel ini Paulo Coelho benar-benar menelanjangi tubuh seorang wanita. Dan novel
inipun terkesan vulgar. Namun disisi lain, Paulo Coelho mau mengubah pola pikir
masyarakat tentang seksualitas. Ia mengeritik kaum lelaki yang menganggap
dirinya sebagai tuan atas tubuh wanita. “Banyak lelaki yang pernah menjamah dan
menggerayangi lekuk tubuhnya, yang pernah orgasme dan meluapkan emosi mereka di
sela-sela pahanya, karena mereka mendengar konon lelaki memang harus begitu,
kalau tidak mereka bukan lelaki sejati”, (Hal276). Keasikannya sebagai wanita
penghibur membuat nilai-nilai cintanya mulai kabur. Dalam bercinta dengan
berbagai tipe laki-laki cinta tidak begitu penting. Baginya yang penting uang,
meskipun dalam permainan itu ia tidak merasakan sensasi dan kenikmatan. Dalam
situasi ini datanglah Ralf Hart seorang pelukis ke dalam hidupnya. Dengan
segala kepiawaiannya sebagai seorang pelukis, Ralf Hart membangkitkan kembali
bunga-bunga cinta dalam diri Maria. Perjumpaan itu pula yang membangkitkan
kesadaran Maria untuk menemukan kembali makna kesucian seksualitas. Karena Ralf
Hart menuntunnya untuk menggapai kepuasan tanpa harus dengan persetubuhan.
Baginya, seni bercinta tak jauh berbeda dengan melukis; dia menuntut
keterampilan dan kesabaran. Dia juga memerlukan nyali dan keberanian untuk
menggapi sesuatu yang lebih dari sekedar persetubuhan. Meskipun terkesan vulgar
namun buku ini memberikan gambaran pada kita untuk menemukan kembali nilai
kesucian seksualitas. Hal ini berangkat dari pengalaman Paulo Coelho sendiri,
dimana ketika masa mudanya berlalu bertepatan dengan sebuah zaman yang diwarnai
dengan kebebasan dan berbagai penyimpangan norma. Disisi lain, Paulo Coelho
membangkitkan semangat keadilan antara pria dan wanita bilamana mereka
melakukan hubungan seksual. Buku ini pantas dibaca oleh kaum dewasa dan menjadi
bahan inspirasi dalam membina persahabatan dengan sesama. Seperti keyakinan
Maria, mencintai seorang sahabat tidak harus kita mengusainya. Dan cinta yang
perkasa adalah cinta yang bisa menunjukkan sisi lemahnya. (Tulisan ini pernah
di muat dalam jurnal Ilmiah Fenomena). Savior Pour Prevoir...


