Senin, 30 April 2012

Memoar Cinta Maria


Memoar Cinta Maria
(Resensi Novel Eleven Minuts, P. Coelho)

“Sakit rasanya sewaktu aku kehilangan pria-pria yang membuatku jatuh cinta. Tapi sekarang aku yakin tak ada yang namanya kehilangan, sebab orang tidak memiliki orang lain. Itulah pengalaman kebebasan yang sesungguhnya: mempunyai hal yang paling penting di dunia, tanpa memilikinya…”...dari catatan harian Maria. 
I am alone
 Berawal dari sebuah kota kecil di pedalaman Brasil, Maria mulai merajut mimpi. Maria hidup dan tinggal bersama ayahnya yang sebagai salesmen dan ibunya seorang penjahit. Sebagaimana gadis-gadis di pedalaman Brasil yang mempunyai impian masa depan cemerlang, demikian juga Maria. Ketika beranjak dewasa, dia berkhayal bertemu pria idaman yang kaya, tampan dan cerdas. Kemudian menikah, mengenakan gaun pengantin, mempunyai dua anak dan tinggal di rumah yang indah dengan pemandangan ke laut. Itu sebabnya Maria senantiasa berharap suatu hari nanti Pangeran Idamannya datang, menjemputnya dan membawanya pergi dan mereka akan menaklukkan dunia bersama-sama. Disana, di pedalaman Brasil itu, Maria mulai mengenal cinta pertamanya. Cinta pertamanya tumbuh ketika ia masih berumur sebelas tahun. Cinta pertamanya jatuh pada anak laki-laki yang tinggal didekat rumahnya. Maria mulai merasakan ada perubahan dalam dirinya disaat berjumpa dengan anak laki-laki itu. Kadang ia gugup, takut atau hatinya berdebar kencang. Namun Maria terpaksa memedamkan perasaan cinta dan kepedihannya dalam diam, karena tak mampu mengatakan perasaan yang sebenarnya. Disaat cinta pertamanya merasuki jiwa dan pikirannya, Maria mengalami lagi perubahan dalam dirinya. Ia bingung dan menangis, ketika suatu pagi ia bangun dan melihat darah segar dalam selimut dan selangkangannya. Ia ingin melarikan diri ke hutan rimba dan membiarkan tubuhnya dimakan binatang liar. Namun Maria tersadar ketika ibunya meceritakan kalau hal itu wajar bagi setiap anak remaja yang mulai beranjak dewasa. Hal itu dimanakan mensturasi dan normal bagi bagi setiap perempuan, kata ibunya. Sejak itu Maria mulai tampil dewasa. Ia berjanji tak akan takut lagi kalau didekati anak laki-laki itu. Ia pun pergi ke Gereja di kota itu dan berikar di hadapan patung Santo Antonius bahwa dia akan mengambil inisiatif dan mengajak anak laki-laki itu bicara. Namun sayang, ketika liburan sekolah usai, ia tidak menemukan lagi pangeran cintanya. Dari teman-temannya, ia mengetahui kalau pangeran cintanya itu telah pindah di tempat yang jauh. Pada saat itulah Maria menyadari bahwa ada hal-hal tertentu yang kalau sudah hilang tidak bisa diraih kembali. Tidak ada yang tahu kemana anak laki-laki itu dan orang tuanya pindah. Maria merasa dunia ini terlalu luas, cinta sangatlah berbahaya dan perawan Maria adalah orang suci yang tinggal jauh di surga sana, tidak mau membuka telinga bagi doa anak-anak. Maria memutuskan suatu hari nanti ia mengikuti jejak anak laki-laki itu. Dia juga memohon pada Perawan Maria agar membawanya pergi. Tiga tahun berlalu. Maria mulai rajin membaca majalah erotik, menonton telenovela-telenovela dan mulai menulis buku hariannya. Ketika baru menginjak usia lima belas tahun, dia jatuh cinta lagi pada seorang pemuda yang dikenalnya dalam acara prosesi Minggu Suci. Maria tidak mau mengulangi kesalahan masa kecilnya. Mereka mengobrol, menjadi sahabat dan mulai pergi bersama ke bioskop atau ke pesta-pesta. Suatu hari Maria dan kekasihnya berjalan-jalan di pedesaan. Mereka mengobrol sedikit dan pemuda itu memeluk dan menciumnya. Ciuman pertamanya. Pemandangan di hadapan merekapun sangat indah dan seakan-akan memberikan mereka kesempatan; burung-burung bangau beterbangan, matahari terbenam, keindahan liar daerah semi gurun, suara musik di kejauhan. Mereka berciuman sambil meniru adegan yang dilihatnya di bioskop, majalah-majalah ataupun televisi. Malam itu Maria menulis dalam buku hariannya. “Saat bertemu seseorang dan jatuh cinta, seisi alam semesta berpihak pada kita. Ini kulihat hari ini saat matahari terbenam”… (Hal 22). Namun tiga hari setelah ciuman itu, Maria mendapatkan laki-laki itu menggandeng tangan salah seorang sahabatnya. Maria merasa sekan-akan dunia ini runtuh, ia menangis semalam-malaman dan patah hati. Ia menyimpulkan bahwa cinta bukan untuknya dan dia tidak ditakdirkan untuk dicinta. Dia ingin menjadi biarawati saja, mengabdikan sisa hidupnya pada cinta yang tidak menyakitkan dan tidak meninggalkan bekas-bekas luka pedih di hatinya, yakni cinta kepada Yesus. Mariapun mulai belajar satu hal yang sangat baru baginya yakni masturbasi. Ia mencari kenikmatan dan kepuasan hanya dengan memainkan bagian-bagian sensitif dalam dirinya. Masturbasi memberinya kenikmatan amat dalam, meskipun Gereja mengajarkan bahwa seks merupakan dosa terbesar. Pada suatu acara kencan, Maria kehilangan keperawanannya di jok belakang mobil. Ia membiarkan sang kekasihnya memerawaninya, karena ia sudah bosan menjadi satu-satunya yang masih perawan di antara teman-temannya. Maria sadar, hal yang indah menakjubkan namun berbahaya itu adalah cinta. Ia pun menguraikannya dalam catatan hariannya. “Aku ingin memahami cinta. Aku merasa sangat hidup ketika jatuh cinta, tapi segala yang kumiliki saat ini, betapapun menariknya, tidak bisa sepenuhnya membangkitkan semangatku. Cinta sungguh menakutkan”….(Hal 29). Demikianlah tahun-tahun remaja Maria berlalu dengan segala kepahitan cinta. Paulo Coelho mengawali narasi novelnya dengan mendeskripsikan arti cinta sebagaimana yang dipahami dan dirasakan oleh kaum remaja umumnya. Cinta datang berawal dari sebuah perjumpaan dan cintapun pergi tanpa suatu kata perpisahan. Cinta sungguh menakutkan, berbahaya dan hanya menimbulkan penderitaan, demikianlah pengalaman cinta yang dialami oleh Maria. Pengalaman cinta Maria ini dan disertai dengan kesenangannya berpetualang, akhirnya membawa Maria menuju kota Jenewa, Swiss. Seseorang yang dikenalnya di Rio de Jeneiro, membawanya ke Jenewa dan berjanji menjadikan Maria sebagai artis terkenal, ternyata kosong belaka. Maria terpaksa menjalani profesi menjadi pelacur demi bertahan hidup. Profesi barunya ini semakin menjauhkan Maria untuk menggapi cinta sejati. Dalam Eleven Minuts, Paulo Coelho membongkar kesakralan dan ketabuan seksualitas manusia. Seksualitas menjadi tema sentral dalam novelnya ini. Disana Paulo Coelho mendobrak konstruksi tubuh seorang wanita secara terang-terangan. Bisa dikatakan, tubuh wanita yang diwakili oleh tokoh Maria sebagai pelacur menjadi menu utama dalam novelnya ini. Ia menggambarkan secara detail bagian-bagian sensitif yang memberikan sensasi, kenikmatan dan kepuasan. Mulai dari klitoris sampai pada soal G-spot dan perdebatan manakah yang memberikan rangsangan dan kenikmatan, klitoris atau G-spot. Ataupun mengenai waktu ideal untuk mencapai orgasme; delapan menit, sebelas menit atau lima belas menit. Bahkan Coelho menganalogikan vagina organ seks itu sebagai sebuah bangunan. “Setelah lewat pintu masuk, cari dia di lantai pertama, dijendela belakang”….(Hal 294). Itulah G-Spot, letak kenikmatan pada diri setiap wanita. Sepintas kita bisa mengkritik, bahwa novel ini seakan-akan menyudutkan kaum wanita. Dimana dalam novel ini Paulo Coelho benar-benar menelanjangi tubuh seorang wanita. Dan novel inipun terkesan vulgar. Namun disisi lain, Paulo Coelho mau mengubah pola pikir masyarakat tentang seksualitas. Ia mengeritik kaum lelaki yang menganggap dirinya sebagai tuan atas tubuh wanita. “Banyak lelaki yang pernah menjamah dan menggerayangi lekuk tubuhnya, yang pernah orgasme dan meluapkan emosi mereka di sela-sela pahanya, karena mereka mendengar konon lelaki memang harus begitu, kalau tidak mereka bukan lelaki sejati”, (Hal276). Keasikannya sebagai wanita penghibur membuat nilai-nilai cintanya mulai kabur. Dalam bercinta dengan berbagai tipe laki-laki cinta tidak begitu penting. Baginya yang penting uang, meskipun dalam permainan itu ia tidak merasakan sensasi dan kenikmatan. Dalam situasi ini datanglah Ralf Hart seorang pelukis ke dalam hidupnya. Dengan segala kepiawaiannya sebagai seorang pelukis, Ralf Hart membangkitkan kembali bunga-bunga cinta dalam diri Maria. Perjumpaan itu pula yang membangkitkan kesadaran Maria untuk menemukan kembali makna kesucian seksualitas. Karena Ralf Hart menuntunnya untuk menggapai kepuasan tanpa harus dengan persetubuhan. Baginya, seni bercinta tak jauh berbeda dengan melukis; dia menuntut keterampilan dan kesabaran. Dia juga memerlukan nyali dan keberanian untuk menggapi sesuatu yang lebih dari sekedar persetubuhan. Meskipun terkesan vulgar namun buku ini memberikan gambaran pada kita untuk menemukan kembali nilai kesucian seksualitas. Hal ini berangkat dari pengalaman Paulo Coelho sendiri, dimana ketika masa mudanya berlalu bertepatan dengan sebuah zaman yang diwarnai dengan kebebasan dan berbagai penyimpangan norma. Disisi lain, Paulo Coelho membangkitkan semangat keadilan antara pria dan wanita bilamana mereka melakukan hubungan seksual. Buku ini pantas dibaca oleh kaum dewasa dan menjadi bahan inspirasi dalam membina persahabatan dengan sesama. Seperti keyakinan Maria, mencintai seorang sahabat tidak harus kita mengusainya. Dan cinta yang perkasa adalah cinta yang bisa menunjukkan sisi lemahnya. (Tulisan ini pernah di muat dalam jurnal Ilmiah  Fenomena). Savior Pour Prevoir...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar