Kamis, 08 Maret 2012

Dari Jendela Biara

Malam telah berlalu. Sang mentari pagi beranjak dari peraduannya menerangi wajah alam yang terbentang dalam padang savana. Mungkin jiwa bumi masih tertidur, terbuai rayuan dewi mimpi bulan purnama sehingga savana ini begitu damai menyambut kehadiran sang mentari pagi, batinku. Dari jendela biara tua peninggalan para misionaris Eropa, kupandang hamparan padang savana yang terbentang di hadapannya. Kupandang jauh ke depan ke arah padang savana. Sudah menjadi kebiasaanku, setiap pagi aku memandang kebesaran Tuhan dalam seluruh ciptaan-Nya dari jendela biara tua. Tak ada yang beda dalam pandanganku, karena setiap pagi pemandangan savana selalu sama. Rumput-rumput yang telah mengering, pohon cemara yang telah layu, ranting-ranting jati yang gugur atau segerombolan ternak yang digembalakan para tuannya. Inilah eskotik kekhasan tanah Sumba dan menjadi daya pemikat bagi para pelancong dari negeri asing. Padang, ternak dan para gembala telah bersahabat dan memiliki satu ikatan perasaan yang erat. Mereka mempunyai bahasa cinta tersendiri, kataku pada diri sendiri. Aku terus memandang hamparan savana, dan di kejauhan  tampak siluet fatamorgana. Sayup-sayup kicauan burung wallet yang bersarang pada dinding-dinding biara tua menambah indahnya pagi ini, sungguh pagi yang sangat sempurna.
****
Tak terasa telah dua tahun aku berada dalam biara tua ini. Di tempat ini aku menghabiskan hari-hariku dengan berdoa, berkarya dan belajar dengan suatu dedikasi demi keselamatan banyak orang. Kedengarannya sangat suci, mulia, dan sosial. Dan entah bagaimana, aku tetap mencintai biara tua ini dengan keseluruhan rutinitas yang selalu sama dan sama. Mengawali hari baru dengan mendaraskan angelus, disusul dengan ekaristi kemudian meditasi. Pada siang hari ada ibadat yang sebut sebagai brevir siang, dan sore hari ada brevir sore. Pada malam hari ada doa malam yang disebut completorium,. Semua kegiatan selalu sama dari hari ke hari. Aku mencintai kesemuanya ini, karena untuk inilah aku dipanggil. Dua tahun pula aku meninggalkan keluarga, sahabat, kenalan dan memilih tinggal dalam biara tua yang dibangun sejak masa penjajahan Belanda. Jalan pilihan ini sebagai bentuk mengikuti jejak Dia yang telah mencintai kita. Ini sebagai jawaban wajibku, jika ada yang bertanya mengapa memilih untuk bertahan dalam biara tua ini. Di biara tua ini, aku mengenal berbagai macam aliran filsafat, mulai dari filsafat Yunani klasik, zaman skolastik, medieval, filsafat modern sampai filsafat kontemporer yang sedang kugeluti sekarang ini. Aku juga mengenal teologi, ilmu yang berbicara tentang keberadaan Allah dengan menekankan pada refleksi sistematik konteks pengalaman yang disebut sebagai teologi kontekstual. Di biara tua ini juga, mengajarkan aku untuk peka pada isu-isu kontroversial. Entah tentang perselingkuhan partai politik, penyelewengan aparat desa, sampai isu santer kiamat 2012. Singkatnya, di biara tua ini aku dibentuk, dibina dan diperkaya entah  sisi kerohanian, pengetahuan dan dituntut kesetiaan menjalankan berbagai praktek tradisi-tradisi Gereja kuno.
***
Aku masih berdiri di jendela biara tua. Sekelompok anak-anak dan remaja yang tergabung dalam perkumpulan putra-putri altar berlari menuju gereja. Mereka belum memahami arti sebuah panggilan, kataku pada diri sendiri. Aku membiarkan pikiranku berkelana, memandang hamparan padang savana yang terbentang di hadapan biara tua. Hawa pagi yang sejuk menembus kisi-kisi jendela biara tua, membawaku pada sebuah memori, ketika sebuah panggilan dan eksistensi cinta dipertanyakan. Aku teringat apa yang pernah diungkapkannya, bahwa filsafat hanya mampu meluluhkan hati wanita tetapi tidak mampu mencintainya. Tidak, kataku protes. Filsafat mengajariku bahwa mencintai adalah sebuah kebebasan untuk memilih, karena cinta bukan hanya sekedar perasaan, tetapi cinta harus dirasionalisasikan sehingga cinta itu tidak buta. Cinta harus dipertanyakan eksistensinya, untuk apa dan bagaimana saya harus mencintai, kataku berfilsafat. Cinta adalah hasrat terdalam dari diri dan jiwa kita sendiri. Cinta merupakan sebuah rahasia jiwa manusia, karena didalamnya terbenam tujuan, hasrat dan rasa dari setiap insan manusia. Filsafat membuatmu pandai bernarasi tentang cinta, tetapi filsafat tidak mengajarimu bagaimana jatuh cinta pada wanita, katanya. Benar, filsafat tidak mengajari itu, karena jatuh cinta adalah soal hati, dan hati mempunyai pikiran sendiri yang tidak dimengerti oleh akal, sedangkan akal mempunyai pikiran sendiri yang tidak dimengerti oleh hati. Filsafat adalah persoalan akal bukan perasaan, dan filsafat hanya mampu berbicara tentang cinta.  Aku berlogika agar ia mampu membedakan antara perasan dan peran akal. Jika demikian, bicaralah padaku tentang cinta dalam pandangan filsafat, katanya sambil memandang deburan-deburan ombak. Aku terdiam, hening. Bicaralah padaku tentang cinta dalam pandangan filsafat, katanya sedikit memaksa. Apakah itu penting bagimu! aku bertanya padanya.  Ia angat penting bagiku, karena filsafat telah membodohiku tentang arti cinta, dan bagaimana saya harus mencitai! Baiklah, jawabku mengikuti keinginannya. Filsafat menawarkan konsep cinta yang akan membawa manusia pada pemahaman tentang cinta yang benar, mendalam dan bermakna dalam relasi antar manusia. Sehingga cinta bukanlah sekedar kata-kata tetapi cinta merupakan tindakkan konkret yang direalisasikan dalam kehidupan nyata, kataku sedikit berguru. Dalam filsafat hal ini disebut sebagai bentuk cinta Marxian. Cinta dari bentuk ini, mencoba mengkonstruksi analisa Karl Marx  tentang masyarakat dan hubungan antar manusia di dalamnya. Masyarakat terdiri dari kelas-kelas sosial, di mana kaum mayoritas selalu mengeksploitasi kaum minoritas. Takaran cinta dalam tahap ini dianalisa berdasarkan persepsi, sikap, corak produksi dan kemampuan ekonomi. Tepatnya, untuk menjalin cinta hakiki, manusia harus melawan belenggu ekonomi-politik, sosial-budaya yang telah mempersempit ruang cinta. Atau untuk mewujudkan nilai cinta sejati, manusia harus menyingkirkan prasangka ideologis, suku, agama yang membatasi kelas-kelas sosial dan yang telah membuat relasi cinta menjadi tersekat-sekat. Marx dalam pemikiran utopia ini mengatakan bahwa cinta hanya akan terwujud secara maksimal dalam masyarakat yang tanpa kelas sosial. Ia menatapku, dengan suara datar ia berkata, jadi filsafat mengajarimu untuk tidak mencintai karena perbedaan kelas? Tidak , bukan itu yang di maksudkan. Cinta Marxian hanyalah segelintir ide yang mengeritik struktur masyarakat yang mengedepankan strata sosial dan budaya. Ada bentuk cinta yang lain dan kualitas cinta yang menekankan keindahan kata-kata, keromantisan dan kehalusan perasaan. Ada Khalil Gibran sang pujangga cinta Lebanon yang menjunjung tinggi seni mencintai, serta pandai menguraikan arti cinta dalam kata atau kalimat yang indah. Ada Erich From sang filsuf yang banyak menuangkan gagasan-gagasan filsafat dalam bentuk keromantisan kata-kata. Cinta memiliki beragam makna serta variasi cara dan gaya untuk  mengungkapkannya. Cinta adalah kebebasan dan mencintai adalah sebuah pilihan. Terima kasih atas kotbahmu tentang cinta, katanya. Kami diam sejenak, berkelana dengan pikiran masing-masing. Apakah kamu masih memiliki rasa mencintai yang lain, Ia bertanya. Rambu, ketika aku masuk biara tua ini, aku tidak meninggalkan hati dan perasaanku di luar pintu pagar biara. Aku membawanya masuk ke dalam biara, aku hidup bersamanya. Aku sadari, aku masih memiliki perasaan untuk mencintai dan dicintai. Tapi cinta ini harus dimengerti secara lain. Aku mencintai secara universal. Jika aku mencintaimu, maka aku juga mencintai semua orang, mencintai dunia dan kehidupan. Jika aku berkata padamu, aku mencintaimu, maka aku harus berkata, aku mencintai yang lain, aku mencintai semua orang dan aku mencintai panggilan serta diriku sendiri. Sebab cinta pada panggillanku telah mengajariku sebuah ketulusan untuk mencintai Dia yang telah memberikan nyawa-Nya demi keselamatanmu, keselamatanku dan keselamatan kita. Ingatlah  apa yang pernah diungkapkan oleh sang novelis favorit kita Paolho Coelho dalam novelnya By The River Of Piedra, bahwa Mencintai berarti berkomuni dengan orang lain dan menemukan serpihan TUHAN pada diri mereka. ,...........Lonceng-lonceng gereja berdentangan, sudah jam dua belas siang. Dari jendela biara tua aku menatap hamparan savana. Semua pilihan  adalah panggilan, kataku sambil bergegas menuju kapela biara tua.

Disaat Tuhan tak dapat Kumengerti
                                                                                                  Fransis  No Awe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar