Prolog
Aku dan engkau adalah kita yang mempunyai kisah. Kisahku dan
kisahmu terbentang dalam alur waktu dan terlukis dalam nubari. Baik aku maupun
kamu pernah, sedang dan akan menjalin persahabatan. Dengan dan bersama SAHABAT
kita dapat berbagi suka maupun duka, tawa maupun tangis. Sahabat adalah jiwa
lain dari jiwa kita, demikian keyakinan saya. Kisahku ini adalah kisah tentang
sahabat. Awalnya saya memberi judul tulisan ini “Kasih Sahabat dan 2 Buah Labu
Jepang”. Namun dalam editing terakhir saya merubahnya dengan judul yang
sekarang ini “Senja Terakhir Di Bulan Desember”. Bertepatan dengan hari
Valentine ini, Ku dedikasikan kisahku ini, bagi para sabahat, kenalan dan semua
mereka yang ingin memahami apa arti dari sebuah PERSAHABATAN. Seperti kata Leo
Buscaglia, Sastrawan AS, “Sekuntum mawar akan
menjadi kebunku. Seorang sahabat sejati akan menjadi duniaku.” Selamat membaca!!!!!!!!
****
Kisah ini berawal
ketika saya duduk dibangku kelas VI SD.Waktu itu di kampungku hanya beberapa
keluarga yang mempunyai pesawat televisi. Kampungku belum maju seperti yang
sekarang ini. Dimana sudah ada PGSD, SMP, Pertokoan, Rumah Sakit dan beberapa gedung
perkantoran. Ketika itu saya bersama teman-teman sebaya harus nonton dirumah orang
yang mempunyai TV. Film favorit kami adalah Wiro Sableng, Pendekar 212. Kami
biasanya nonton pada hari minggu setelah pulang Gereja. Seingat saya, film itu
mulai tanyang pukul 11.30 sampai 12.30 di RCTI. Tokoh-tokoh dalam film ini kami
hafal bahkan lebih hafal ketimbang pelajaran. Tokoh utamanya Wiro Sableng, gurunya
bernama Sinto Gendeng. Selain ini ada Dewa Tidur, yang perannya rada-rada lucu
dan suka tidur. Ada beberapa musuhnya Wiro. Ada 3 setan dari Tenggarong, 3
Setan Darah, dll. Jurus-jurus Wiro pun kami hafal. Ada “jurus pemetik buah”, “jurus
kentut”, “jurus pemecah kelapa”. Dan yang paling kami tunggu adalah jurus kapak
maut. Inilah jurus utama Wiro Sableng.
Untuk
menonton film ini ada syaratnya yakni pemilik TV mewajibkan orang yang datang
nonton harus membawa seikat kayu bakar atau 2 buah labu jepang. Ini semacam
karcis.Yang tidak membawa tidak diijinkan nonton. Bagi kami kedua syarat
tersebut tidak terlalu berat, yang penting kami bisa menonton tokoh idola kami
Wiro. Ada dua cara kami mendapatkan kedua barang ini. Pertama kami mengambil
dari rumah dan kedua kami mengambil dari kebun orang alias mencuri, hehehe. Kami
mengistilahkannya sebagai “jurus lompat pagar”. Yang paling populer dan
digemari oleh kami adalah cara yang kedua. (cat.
Karena dulu kami belum memahami apa arti curi, hahaha). Sesampainya di
rumah pemilik TV kami mengumpulkan barang bawaan kami disalah satu sudut rumah
dan mulai nonton. Ruangan TV tidak terlalu besar, sehingga kami harus berdesak-desakan. Kami duduk bersila di
lantai yang tanpa alas dan mengarahkan mata ke layar TV yang ditempatkan di
meja yang lebih tinggi. Ketika film Wiro mulai kami akan konsen dan tak ada
yang ribut satupun. Nyamuk gigit pun tidak dihiraukan. Film ini akan dimulai
dengan soundtraknya yang berjudul Wiro Sableng. Syair lagunya sungguh kami
hafal. Setelah tayangan Wiro, akan
dilanjutkan dengan film Brama Kumbara. Namun ini tergantung dari kebaikkan hati
dari tuan TV. Karena tayangan yang wajib untuk kami hanya Wiro, sedangkan film
Brama Kumbara bersifat fakultatif. Ketika pulang, kami akan mempraktekan
kembali apa yang nonton. Ada yang menjadi Wiro, ada juga yang menjadi penjahat.
Kami melakukan hal ini dari hari minggu yang satu ke hari minggu yang lainnya.
Akhirlah
tibalah suatu hari minggu yang nas bagi saya dan teman-teman. Waktu itu teman-temanku
menunggu didepan rumah. Saya berjalan mondar-mandir di dalam rumah dan gelisah,
karena belum mendapatkan labu jepang. Maklum mau mengambil labu tapi ada ortu
(takut bro,ma ortu….). Akhirnya seperti biasa kami melakukan “jurus lompat
pagar” ke kebun orang. Namun sial, hari itu ada pemilik kebun. Sasaran operasi
kami gagal total. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 berarti setengah jam lagi
film Wiro dimulai. Kami runding bersama. Putar otak sampai pusing tujuh
keliling. Bagaimana kalo kita masukkan
batu ke plastik hitam, dan jadikan itu sebagai labu jepang; kata Yovran
sahabat kami. Oke setuju, itu ide yang
bagus, kata Kornel. Akhirnya kami mencari batu yang seukuran dengan buah
labu jepang dan masukkan ke plastik. Hahaha, aman bro, hari ini kita bisa nonton
Wiro. Kamipun bergegas ke rumah pemilik TV, mengumpulkan labu jepang yang ada
di plastik hitam dan nonton. Episode pertama pun dimulai. Wiro ditantang oleh
ketiga setan dari Tenggarong. Pertarungan seru. Wiro kewalahan meladeni ketiga
setan ini. Namun lagi lagi sial. Sial lagi sial lagi. Entah setan apa yang
merasuki otak pemilik TV, hari itu diadakan razia. Karena pemilik TV curiga
bahwa ada diantara kami yang tidak membawa kayu bakar ataupun labu jepang. TV
dimatikan sesaat. Semua keluar dan mengambil barang bawaannya masing-masing. Kami
ketahuan membawa batu. Dimarahi pemilik TV. Sebenarnya kami tidak takut, tapi
mengingat pemilik TV ini adalah salah seorang guru yang mengajar kami, maka kami
tunduk dan sedikit gemetar. Semua diam membisu. Kami berdiri ditengah-tengah,
dan diadilai oleh pemilik TV. Mungkin sama seperti Yesus yang diadili dihadapan
Pilatus, hehehe. Kami diusir pemilik TV.
Pergi,…jangan pernah lagi kamu datang
nonton dirumahku, kata pemilik TV dengan nada marah. Kami melangkah pergi.
Tetapi seketika terdengar suara yang berteriak di tengah kerumunan. Tidak Pa, No jangan pulang, dia ada labu jepang
Pa, teriak seseorang.(No adalah
sapaan sayang keluarga dan sahabat untukku). Aku kenal suara itu. Itu suara
Vira. Dia sahabatku, orangnya manis, cantik
dan bertipikal gadis Indian. Vira maju ke tengah kerumunan dan memberikan
kantung plastiknya yang berisi labu Jepang.
Pemilik TV menerima kantung itu, dan mengelurkan isinya. Tapi ini hanya dua buah, ini untukmu karena
itu No tetap pulang, dia tidak mempunyai labu Jepang, kata pemilik TV sambil menatap Vira. Iya Pa, cuma dua buah tapi itu saya berikan untuk No, izinkan dia nonton Pa dan saya akan pulang; kata
Vira sambil melangkah pergi.
****
Setelah tamat SD kami berpisah. Saya melanjutkan
sekolah di salah satu kota di Pulau Sumba dan ia melanjutkan di kota Bajawa. Kami jarang bertemu, paling sekali setahun
ketika liburan natal. Kami hanya bersurat, maklum dulu belum ada Hp. Dalam
suratnya dia banyak mengisahkan keadaan sekolahnya juga teman-temannya. Saya pun
demikian. Saya banyak berkisah tentang indahnya panorama pulau Sumba. Padang
Savananya yang indah, gadis-gadisnya yang ramah, perkampungan adatnya yang
megah atau juga pantai-pantainya yang indah. Sampai suatu waktu, ketika saya duduk
dibangku kelas 2 SMA mendapatkan surat darinya.
Dia menulis;
No, maafkan aku. Ijinkanlah
aku untuk berkata jujur. Dulu setiap minggu kita biasa bersama nonton film Wiro. Tahukah kamu No, kalo dulu setiap
minggu aku selalu membawa 4 buah labu jepang. Aku selalu membawa lebih No, dengan
maksud untuk memberikan kepadamu, 2 untukmu dan 2 untukku. Namun hari itu,
entah mengapa saya cuma membawa 2 buah labu jepang. Dan itu saya berikan
kepadamu dengan setulus hatiku. Aku ingin engkau bahagia No, dan selalu bahagia.
Karena kebahagianmu adalah kebahagianku juga.
No, tahukah kamu bahwa dirimu
sangat berarti bagiku! Kehadiranmu dan bersahabat denganmu adalah sebuah
anugerah terbesar dalam hidupku. Meskipun aku tak sesempurna dirimu, tapi aku
merasa disempurnakan olehmu. Meskipun aku tak bisa berjalan, tapi aku merasa
bisa dengan langkahmu. Meskipun hidupku selalu dirundung sepi dan derita, tapi
aku bisa tersenyum dengan melihat senyum dan tingkahmu yang lucu. Meskipun terasa berat dan susah ketika aku
mendorong roda keretaku, tapi aku semangat melakukannya, karena engkau pernah
melakukan itu untuk aku. Aku selalu ingat No, ketika kamu mendorong keretaku ketika kita
bermain di padang bersama teman-teman! Dan aku ingat juga ketika kamu menyelam untuk
mengambil tongkatku, ketika si Jhon sahabat kita melemparkan tongkatku ke
sungai! No ingatkan!! Dan meskipun semangat hidupku meredup, namun aku tetap
tegar dan kuat, karena engkau adalah jiwaku. You are my Wiro Sableng.
Kota Dingin Bajawa, 14 Feb 2006.
Prayer & Love
Vira
Setelah
membaca suratnya, Rektor memanggil saya ke kantor. Ini ada fax untukmu. Isinya
menginformasikan bahwa sahabatmu Vira sudah meninggal. Kapan dia meninggal,tanyaku.
Tanggal
14 februari. Apa????? tanggal 14 Februari!!!
****
Vira,
seorang sahabat sejatiku. Nama lengkapnya Maria Elvira. Kami tumbuh bersama.
Menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja secara bersama-sama pula. Dia cantik
dan anggun. Rambutnya pirang dan terurai bagaikan mayang padi. Hidungnya mancung
dan kulitnya putih seperti gadis-gadis dalam film Koboy. Tatapan matanya terasa sejuk, sesejuk embun
pagi. Senyumnya senantiasa menghiasi bibirnya. Lesung pipihnya. Tingginya
semampai, pinggulnya indah bagaikan biola Casanova dan buah dadanya bagaikan
buah pohon kurma. Kecantikkannya menjadi bahan pembicaraan masyarakat, bahkan
menyebar sampai ke desa tetangga. Namun dia cacat. Dia hanya memiliki satu
kaki. Dia berjalan dengan bantuan tongkat atau kreta dorong (kursi roda). Dia
juga menderita penyakit ganas entah apa namanya. Kami anak-anak dilarang tahu
bahkan sampai sesudah kepergiaannya pun kami tak tahu. Orang-orang tua maupun
orang-orang muda sering menyesali keadaan ini. Mengapa gadis yang cantik seperti ini, harus menderita? Bahkan
beberapa pemuda seakan mengugat Tuhan; Mengapa Tuhan, Engkau membiarkan gadis
pujaan kami mengalami nasib seperti ini! Dia meninggal karena demam tinggi dan
komplikasi. Dia menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan mendekap boneka
Wiro Sableng. Itu adalah hadiah yang aku berikan padanya pada malam sebelum
keberangkatan saya ke Sumba. Setengah tahun setelah kepergiannya ketika liburan
sekolah, saya mengunjungi keluarganya dan mau berdoa di makamnya. Ayah, ibu dan
kedua adiknya memelukku. Mereka menangis. Kemudian ibunya mengambil sebuah
kotak dan memberikan padaku. Ini hadiah dari Vira untukmu, kata
ibunya sembari memberikan bingkisan itu. Dia
membuatnya sendiri, menjelang hari-hari akhirnya. Kubuka kadonya. Ada
setangkai mawar merah dan sebuah vas yang terbuat dari tanah liat. Bentuknya
unik dan indah. Ada selembar kartu ucapan, Happy
Valentine, my Wiro Sableng. Vira.
*****
Bersama
ayah, ibu dan kedua adiknya kami berdoa dikuburnya. Disamping pusarannya ini,
aku kenang kembali kisah yang pernah kami rajut bersama. Aku ingat senyumnya,
kemanjaannya. Ingat masa kecil yang sering kami habiskan dengan menjelajah
padang-padang rumput di belakang kampung sembari mengejar belalang dan
kupu-kupu. Ingat ketika kami harus menelusuri anak-anak sungai sekedar berenang
ataupun memancing. Aku ingat juga si Jhon yang selalu usil padanya, atau si
Peter dan Kornel yang selalu mengagumi kecantikkannya. Dan tentu aku ingat 2
buah labu jepangnya.
Terlintas
juga dalam anganku, perjumpaan kami yang terakhir kalinya. Kala itu bulan desember,
liburan natal. Senja itu, senja terakhir di
bulan desember. Dia duduk dalam kreta dan saya mendorongnya. Mari kita ke padang, aku ingin melihat
matahari terbenam; katanya manja. Kami berjalan menyusuri lorong-lorong
dusun. Mengambil sisi kanan kampung, agar lebih mudah menuju padang. Padang
hanya berjarak lima ratus meter dari kampung. Bagiku, Vira maupun anak-anak dusun,
padang mempunyai makna tersendiri. Padang bukan hanya sebagai tempat gembala
sapi, kerbau ataupun kambing. Tetapi lebih dari itu, padang rumput adalah
kebahagian kami. Disana tempat kami bermain, berkejar-kejaran, bersilat ria ala
Wiro Sableng atau juga bermain “sembunyi-sembunyian” di semak-semaknya. Bagi
anak-anak putri, padang adalah tempat untuk bermain tali merdeka. Dan jika saatnya
bunga bakung mekar, mereka akan berlomba-lomba memetiknya. Dan disaat
mawar-mawar liar mengeluarkan mahkotanya, mereka akan berebutan memetik,
mencium kelopaknya dan membawanya kerumah.
Kami
terus berjalan menuju padang. Sayup-sayup dikejauhan sana terdengar desahan
angin yang menghempas hamparan padang. Lolongan anjing para gembala terdengar
samar-samar. Suara burung cucak rowok melengking dari atas pohon Albesia. Semuanya
berbaur menjadi satu seakan-akan menjadi orcesta alam yang senada. Ini musik alam, batinku. Kami berjumpa
dengan beberapa orang yang pulang dari ladangnya. Ada seorang ibu yang
menjunjung bakulnya. Seorang bapak yang menggendong anaknya. Kami kepadang, mau melihat matahari terbenam;
jawab kami ketika mereka bertanya hendak kemana. Kami tiba dipadang, disaat
matahari memamerkaan sinar keemasannya. Aku bopong Vira dari kretanya. Kami
duduk direrumputan. Ia disebelah kanan. Kami menatap dikejauhan sana. Tampak
siluet fatamorgana, berarti tidak lama lagi matahari akan terbenam. Petiklah bunga bakung untukku; pintanya.
Tapi ini bulan desember, mahkota bunga
bakung akan mekar pada bulan februari dan maret; jawabku. Bunga apa yang mekar di bulan desember;
dia balik bertanya. Mawar-mawar liar,
jawabku sambil memandang sekelompok tikus yang lari ketakutan. Petiklah setangkai untukku. Aku berlari
mencari mawar-mawar liar. Ku cari yang terindah, kupetik setangkai dan memberikan
kepadanya. Ini bunganya, setangkai
kembang mawar merah; kataku. Ia menerima tanpa kata, hanya seutas senyum
yang merekah dibibirnya. Kami duduk dalam diam. Hanya terdengar suara jengkrik
dan derit katak-katak pohon yang mengejar mangsa untuk santap malamnya. Diatas
langit, burung-burung gagak terbang bergerombolan kembali ke sarangnya, dan burung-burung
pipit berterbang datar, sambil bersiul kegirangan. Burung puyuh mendendang
suara baritonnya dan burung tekukur menyanyikan suaranya
yang merdu. Lihat matahari akan terbenam,
katanya memecah kebisuan. Posisi matahari tepat dipuncak bukit yang berdiri
tegak diujung padang. Tak ada awan yang melintas. Sehingga kami bisa melihat
bentuknya yang bulat dengan warnanya yang merah keemasan. Indah, ini luar
biasa. Dia raih tanganku. Menggenggamnya erat. Kudepak kepalanya. Namun sayang,
matahari memamerkan keindahannya hanya selama lima tarikan napas saja. Sesaat
ia telah berada dibalik perbukitan. Ia menatapku dalam-dalam. Kucium keningnya
dan iapun membalasnya. Ciuman yang tanpa ada unsur nafsu namun ciuman yang penuh
dengan makna persaudaraan, kebersamaan dan persahabatan. Ayo kita pulang, hari hampir malam, kataku sembari menggendongya ke
kreta. Tak kusangka inilah perjumpaan kami yang terakhir, disuatu Senja
Terakhir di Bulan Desember.
****
Trima kasih Vira
atas kebersamaan kita. Selalu ku ingatmu dalam doaku. Berbahagialah di surga. Dan
Happy Valentine Vira, You are my angel.
Kataku sambil menatap setangkai mawar merah dengan vasnya yang kuletakkan di
meja belajarku.
Disaat malam tak
berbintang
Jogya, 13,02, 2012
Fransis No Awe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar