Jumat, 09 Maret 2012

My Life, My Style and My Smile

 Friends are the sunshine of life.

A single rose can be my garden, but a single friend, my world

Ngadhu dan Bhaga; Warisan pusaka dari masa ke masa, dan simbol kewibawaan
serta kekayaan orang Bajawa. I Love You Bajawa

Suatu hari di Pantai Baron Wonosari-Yogyakarta

Senja di Waduk Sempor-Gombong-Jateng

The Next TERMINATOR

Wisatawan Lokal

Kamis, 08 Maret 2012

Dari Jendela Biara

Malam telah berlalu. Sang mentari pagi beranjak dari peraduannya menerangi wajah alam yang terbentang dalam padang savana. Mungkin jiwa bumi masih tertidur, terbuai rayuan dewi mimpi bulan purnama sehingga savana ini begitu damai menyambut kehadiran sang mentari pagi, batinku. Dari jendela biara tua peninggalan para misionaris Eropa, kupandang hamparan padang savana yang terbentang di hadapannya. Kupandang jauh ke depan ke arah padang savana. Sudah menjadi kebiasaanku, setiap pagi aku memandang kebesaran Tuhan dalam seluruh ciptaan-Nya dari jendela biara tua. Tak ada yang beda dalam pandanganku, karena setiap pagi pemandangan savana selalu sama. Rumput-rumput yang telah mengering, pohon cemara yang telah layu, ranting-ranting jati yang gugur atau segerombolan ternak yang digembalakan para tuannya. Inilah eskotik kekhasan tanah Sumba dan menjadi daya pemikat bagi para pelancong dari negeri asing. Padang, ternak dan para gembala telah bersahabat dan memiliki satu ikatan perasaan yang erat. Mereka mempunyai bahasa cinta tersendiri, kataku pada diri sendiri. Aku terus memandang hamparan savana, dan di kejauhan  tampak siluet fatamorgana. Sayup-sayup kicauan burung wallet yang bersarang pada dinding-dinding biara tua menambah indahnya pagi ini, sungguh pagi yang sangat sempurna.
****
Tak terasa telah dua tahun aku berada dalam biara tua ini. Di tempat ini aku menghabiskan hari-hariku dengan berdoa, berkarya dan belajar dengan suatu dedikasi demi keselamatan banyak orang. Kedengarannya sangat suci, mulia, dan sosial. Dan entah bagaimana, aku tetap mencintai biara tua ini dengan keseluruhan rutinitas yang selalu sama dan sama. Mengawali hari baru dengan mendaraskan angelus, disusul dengan ekaristi kemudian meditasi. Pada siang hari ada ibadat yang sebut sebagai brevir siang, dan sore hari ada brevir sore. Pada malam hari ada doa malam yang disebut completorium,. Semua kegiatan selalu sama dari hari ke hari. Aku mencintai kesemuanya ini, karena untuk inilah aku dipanggil. Dua tahun pula aku meninggalkan keluarga, sahabat, kenalan dan memilih tinggal dalam biara tua yang dibangun sejak masa penjajahan Belanda. Jalan pilihan ini sebagai bentuk mengikuti jejak Dia yang telah mencintai kita. Ini sebagai jawaban wajibku, jika ada yang bertanya mengapa memilih untuk bertahan dalam biara tua ini. Di biara tua ini, aku mengenal berbagai macam aliran filsafat, mulai dari filsafat Yunani klasik, zaman skolastik, medieval, filsafat modern sampai filsafat kontemporer yang sedang kugeluti sekarang ini. Aku juga mengenal teologi, ilmu yang berbicara tentang keberadaan Allah dengan menekankan pada refleksi sistematik konteks pengalaman yang disebut sebagai teologi kontekstual. Di biara tua ini juga, mengajarkan aku untuk peka pada isu-isu kontroversial. Entah tentang perselingkuhan partai politik, penyelewengan aparat desa, sampai isu santer kiamat 2012. Singkatnya, di biara tua ini aku dibentuk, dibina dan diperkaya entah  sisi kerohanian, pengetahuan dan dituntut kesetiaan menjalankan berbagai praktek tradisi-tradisi Gereja kuno.
***
Aku masih berdiri di jendela biara tua. Sekelompok anak-anak dan remaja yang tergabung dalam perkumpulan putra-putri altar berlari menuju gereja. Mereka belum memahami arti sebuah panggilan, kataku pada diri sendiri. Aku membiarkan pikiranku berkelana, memandang hamparan padang savana yang terbentang di hadapan biara tua. Hawa pagi yang sejuk menembus kisi-kisi jendela biara tua, membawaku pada sebuah memori, ketika sebuah panggilan dan eksistensi cinta dipertanyakan. Aku teringat apa yang pernah diungkapkannya, bahwa filsafat hanya mampu meluluhkan hati wanita tetapi tidak mampu mencintainya. Tidak, kataku protes. Filsafat mengajariku bahwa mencintai adalah sebuah kebebasan untuk memilih, karena cinta bukan hanya sekedar perasaan, tetapi cinta harus dirasionalisasikan sehingga cinta itu tidak buta. Cinta harus dipertanyakan eksistensinya, untuk apa dan bagaimana saya harus mencintai, kataku berfilsafat. Cinta adalah hasrat terdalam dari diri dan jiwa kita sendiri. Cinta merupakan sebuah rahasia jiwa manusia, karena didalamnya terbenam tujuan, hasrat dan rasa dari setiap insan manusia. Filsafat membuatmu pandai bernarasi tentang cinta, tetapi filsafat tidak mengajarimu bagaimana jatuh cinta pada wanita, katanya. Benar, filsafat tidak mengajari itu, karena jatuh cinta adalah soal hati, dan hati mempunyai pikiran sendiri yang tidak dimengerti oleh akal, sedangkan akal mempunyai pikiran sendiri yang tidak dimengerti oleh hati. Filsafat adalah persoalan akal bukan perasaan, dan filsafat hanya mampu berbicara tentang cinta.  Aku berlogika agar ia mampu membedakan antara perasan dan peran akal. Jika demikian, bicaralah padaku tentang cinta dalam pandangan filsafat, katanya sambil memandang deburan-deburan ombak. Aku terdiam, hening. Bicaralah padaku tentang cinta dalam pandangan filsafat, katanya sedikit memaksa. Apakah itu penting bagimu! aku bertanya padanya.  Ia angat penting bagiku, karena filsafat telah membodohiku tentang arti cinta, dan bagaimana saya harus mencitai! Baiklah, jawabku mengikuti keinginannya. Filsafat menawarkan konsep cinta yang akan membawa manusia pada pemahaman tentang cinta yang benar, mendalam dan bermakna dalam relasi antar manusia. Sehingga cinta bukanlah sekedar kata-kata tetapi cinta merupakan tindakkan konkret yang direalisasikan dalam kehidupan nyata, kataku sedikit berguru. Dalam filsafat hal ini disebut sebagai bentuk cinta Marxian. Cinta dari bentuk ini, mencoba mengkonstruksi analisa Karl Marx  tentang masyarakat dan hubungan antar manusia di dalamnya. Masyarakat terdiri dari kelas-kelas sosial, di mana kaum mayoritas selalu mengeksploitasi kaum minoritas. Takaran cinta dalam tahap ini dianalisa berdasarkan persepsi, sikap, corak produksi dan kemampuan ekonomi. Tepatnya, untuk menjalin cinta hakiki, manusia harus melawan belenggu ekonomi-politik, sosial-budaya yang telah mempersempit ruang cinta. Atau untuk mewujudkan nilai cinta sejati, manusia harus menyingkirkan prasangka ideologis, suku, agama yang membatasi kelas-kelas sosial dan yang telah membuat relasi cinta menjadi tersekat-sekat. Marx dalam pemikiran utopia ini mengatakan bahwa cinta hanya akan terwujud secara maksimal dalam masyarakat yang tanpa kelas sosial. Ia menatapku, dengan suara datar ia berkata, jadi filsafat mengajarimu untuk tidak mencintai karena perbedaan kelas? Tidak , bukan itu yang di maksudkan. Cinta Marxian hanyalah segelintir ide yang mengeritik struktur masyarakat yang mengedepankan strata sosial dan budaya. Ada bentuk cinta yang lain dan kualitas cinta yang menekankan keindahan kata-kata, keromantisan dan kehalusan perasaan. Ada Khalil Gibran sang pujangga cinta Lebanon yang menjunjung tinggi seni mencintai, serta pandai menguraikan arti cinta dalam kata atau kalimat yang indah. Ada Erich From sang filsuf yang banyak menuangkan gagasan-gagasan filsafat dalam bentuk keromantisan kata-kata. Cinta memiliki beragam makna serta variasi cara dan gaya untuk  mengungkapkannya. Cinta adalah kebebasan dan mencintai adalah sebuah pilihan. Terima kasih atas kotbahmu tentang cinta, katanya. Kami diam sejenak, berkelana dengan pikiran masing-masing. Apakah kamu masih memiliki rasa mencintai yang lain, Ia bertanya. Rambu, ketika aku masuk biara tua ini, aku tidak meninggalkan hati dan perasaanku di luar pintu pagar biara. Aku membawanya masuk ke dalam biara, aku hidup bersamanya. Aku sadari, aku masih memiliki perasaan untuk mencintai dan dicintai. Tapi cinta ini harus dimengerti secara lain. Aku mencintai secara universal. Jika aku mencintaimu, maka aku juga mencintai semua orang, mencintai dunia dan kehidupan. Jika aku berkata padamu, aku mencintaimu, maka aku harus berkata, aku mencintai yang lain, aku mencintai semua orang dan aku mencintai panggilan serta diriku sendiri. Sebab cinta pada panggillanku telah mengajariku sebuah ketulusan untuk mencintai Dia yang telah memberikan nyawa-Nya demi keselamatanmu, keselamatanku dan keselamatan kita. Ingatlah  apa yang pernah diungkapkan oleh sang novelis favorit kita Paolho Coelho dalam novelnya By The River Of Piedra, bahwa Mencintai berarti berkomuni dengan orang lain dan menemukan serpihan TUHAN pada diri mereka. ,...........Lonceng-lonceng gereja berdentangan, sudah jam dua belas siang. Dari jendela biara tua aku menatap hamparan savana. Semua pilihan  adalah panggilan, kataku sambil bergegas menuju kapela biara tua.

Disaat Tuhan tak dapat Kumengerti
                                                                                                  Fransis  No Awe

PUNU NANGE “Sastra Kebijaksanaan Orang Bajawa”

Kebijaksanaan atau sastra kebijaksanaan telah lahir ribuan tahun yang lalu sejak era Yunani kuno. Filsuf-filsuf Yunani klasik seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Phytagoras mulai memperkenalkan kebijaksanaan ini. Warisan filsuf klasik ini kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh para filsuf sesudahnya, seperti para filsuf zaman medieval, modern juga filsuf-filsuf kontemporer. Bisa dikatakan, kebijaksanaan merupakan warisan emas dari para penggagas ilmu pengetahuan. Kebijaksanaan ini juga nampak dalam sastra-satra Kitab Suci. Kitab Mazmur merupakan salah satu sastra kebijkasaan yang paling populer dalam Kitab Suci. Disana diungkapkan kebijaksanaan raja Daud yang sebagai raja pertama bangsa Israel di tanah terjanji; Kanaan. Kebijaksanaan yang sama pula, dihidupi oleh masyarakat-masyarakat lokal. Dalam kehidupan masyarakat Bajawa terdapat berbagai sastra kebijaksanaan yang termuat dalam cerita-cerita lokal (NANGE). Juga ada berbagai petuah kebijaksanaan yang berupa nasihat, peringatan atau kata motivasi. Pada umumnya, sastra-sastra dan kebijaksanaan lokal ini mengandung makna kemanusiaan, ajaran sosial, nasihat religius serta sarat dengan pesan moral. Dibawah ini saya mencoba, menuliskan beberapa kebijaksanaan lokal dan cerita lokal (PUNU NANGE) dalam budaya Bajawa. Karean itu saya mengajak Pine ine, pame ame, kae, azi doa, mai kita jaga warisan leluhur kita, inilah kekayaan kebudayaan kita.
Kata-Kata Filosofis Lokal Bajawa
Modhe  ne,e hoga woe, meku ne,e doa delu
+ Hidup baik dengan sahabat maupun sesama
Kata nga keke kau ma,e saga sete, lako nga ta,a kau ma,e saga-saga. Kau la,a netu zala, kau page nono wae
+ Berjalanlah dijalan yang benar, jangan tergoda dengan segala rintangan
Su,u papa suru, sa,a papa laka
+Hidup harus saling memperhatikan dan saling membantu
Ma,e rebho go pata da be,o
+ Jangan lupa nasihat atau ajaran para leluhur
Papa po we,e dia papa bhoko, Pasu ma,e nau, ngia mae kapa
+ Saling nasihat dalam rumah dan Jangan mencari konflik
Ma,e mazi ngaza ngata, bela nga deke ata tuku kese, mote nga ngazo ata tuku dha,o
+ Jangan bicarakan (fitnah) nama orang. Orang bisa tangkap dan tuntut kata-kata kita.
Kolo setoko aze setebu
+Seia sekata (sepakat)
Mai kita podhu dia sa,o pu,u. Wi ka papa fara, inu papa resi
+Mari kita duduk bersama
Ma,e sigha go ana manu bila one sa,o
+Jangan mengusir anak-anak yang nakal
Ma,e seghi gela ma,e kau ja,o, ma,e kau me,a ja,o me,a
+Jangan menceraiberaikan kekeluargaan, jangan egois

PUNU NANGE (Cerita Raykat)
Kogha Ne,e Pake (Rusa dan Katak)
Pu,u selesa, Kogha da dhabu ne,e Pake. Kogha ajak Pake lomba lari. Kogha punu Pake; wala Pake, mai gita lomba lari lah. Pake walo; tu,u bhai doa. Tu,u lah doa jao bhai aka. Kogha punu pake; jao dia ngaza paru nge lewa ngaba, jao bhai mizo. Mau dhepo wolo meze jao dhao nge. Pake jengkel mati zenge Kogha dha sombong. Pake tana Kogha; wengi kita lomba. Sengai kobe doa, nge bhai, Kogha tana wado Pake. Oke doa, jadi sengai kobe kita mori zua lomba paru.
Negha kena, Pake la,a punu masa keluarga ngeta. Sengai kobe, jao lomba lari lawan kogha. Jao ngede miu untuk baris dia jalur lomba. Ngaza miu zenge wai kogha da paru, dug dug dug miu lama were. Miu bodha were dia ngia Kogha supaya gazi selalu kalah.Were miu bodha papa dhepo ma,e hemi, sehingga Kogha magha jao dia ngia gazi.  Ok doa, mantap, Siap dilaksanakan; walo ma,a go keluarga pake.  
Waktu ola kobe, Kogha ngodho dia Pake. Wala pake, dia ola kobhe gha, mai kita wi lomba lari, Kogha ajak pake. Okey doa, kita lomba skarang; Pake walo kogha. Hoga mori zua mulai paru, pai dia leko, dia wolo sai dia ngaba. Doa-doa go,o Pake mulai terapkan strategi yang telah dirancang. Setiap jalur lomba, pake selalu were. Ngaza Kogha zenge pake da were dia ngia gazi, Kogha mulai semangat lari. Tapi selalu pake were dia ngia kogha. Karena paru terus, akhirnya ngade go Kogha rogho bholo, negha kena Kogha mata. RIP Doa jao Kogha; punu pake zale one ate.
Cerita diatas menggambarkan kesombongan seekor rusa. Rusa memandang remeh Katak, yang secara kodrati tak bisa lari secepat Rusa. Namun dengan kecerdikannya, katak mampu mengalahkan si Rusa. Sekiranya ada dua pesan moral dari kisah diatas. Pertama; Kesombongan hanyalah  batu sandungan bagi diri sendiri. Kesombongan tidak pernah membuat diri sendiri menjadi lebih baik melainkan membawa pada kesusahan. Kedua; Jangan pernah memandang remeh orang lain. Karena mungkin orang yang kita anggap yang remeh itu justru memiliki kekuatan yang besar yang melebihi diri kita sendiri.
Cerita Kogha dan Pake diatas hanyalah salah satu dari ribuan cerita lokal yang menyebar di seluruh daerah Bajawa. Cerita lokal ini menjadi kekayaan tersendiri bagi masyarakat Bajawa. VIVA Bajawa TERRA NOSTRA.



Rabu, 07 Maret 2012

Matamu adalah kekuatan jiwamu

Senja Terakhir Di Bulan Desember


Prolog
Aku dan engkau adalah kita yang mempunyai kisah. Kisahku dan kisahmu terbentang dalam alur waktu dan terlukis dalam nubari. Baik aku maupun kamu pernah, sedang dan akan menjalin persahabatan. Dengan dan bersama SAHABAT kita dapat berbagi suka maupun duka, tawa maupun tangis. Sahabat adalah jiwa lain dari jiwa kita, demikian keyakinan saya. Kisahku ini adalah kisah tentang sahabat. Awalnya saya memberi judul tulisan ini “Kasih Sahabat dan 2 Buah Labu Jepang”. Namun dalam editing terakhir saya merubahnya dengan judul yang sekarang ini “Senja Terakhir Di Bulan Desember”. Bertepatan dengan hari Valentine ini, Ku dedikasikan kisahku ini, bagi para sabahat, kenalan dan semua mereka yang ingin memahami apa arti dari sebuah PERSAHABATAN. Seperti kata Leo Buscaglia, Sastrawan AS, “Sekuntum mawar akan menjadi kebunku. Seorang sahabat sejati akan menjadi duniaku.”  Selamat membaca!!!!!!!!
****
Kisah ini berawal ketika saya duduk dibangku kelas VI SD.Waktu itu di kampungku hanya beberapa keluarga yang mempunyai pesawat televisi. Kampungku belum maju seperti yang sekarang ini. Dimana sudah ada PGSD, SMP, Pertokoan, Rumah Sakit dan beberapa gedung perkantoran. Ketika itu saya bersama teman-teman sebaya harus nonton dirumah orang yang mempunyai TV. Film favorit kami adalah Wiro Sableng, Pendekar 212. Kami biasanya nonton pada hari minggu setelah pulang Gereja. Seingat saya, film itu mulai tanyang pukul 11.30 sampai 12.30 di RCTI. Tokoh-tokoh dalam film ini kami hafal bahkan lebih hafal ketimbang pelajaran. Tokoh utamanya Wiro Sableng, gurunya bernama Sinto Gendeng. Selain ini ada Dewa Tidur, yang perannya rada-rada lucu dan suka tidur. Ada beberapa musuhnya Wiro. Ada 3 setan dari Tenggarong, 3 Setan Darah, dll. Jurus-jurus Wiro pun kami hafal. Ada “jurus pemetik buah”, “jurus kentut”, “jurus pemecah kelapa”. Dan yang paling kami tunggu adalah jurus kapak maut. Inilah jurus utama Wiro Sableng.
Untuk menonton film ini ada syaratnya yakni pemilik TV mewajibkan orang yang datang nonton harus membawa seikat kayu bakar atau 2 buah labu jepang. Ini semacam karcis.Yang tidak membawa tidak diijinkan nonton. Bagi kami kedua syarat tersebut tidak terlalu berat, yang penting kami bisa menonton tokoh idola kami Wiro. Ada dua cara kami mendapatkan kedua barang ini. Pertama kami mengambil dari rumah dan kedua kami mengambil dari kebun orang alias mencuri, hehehe. Kami mengistilahkannya sebagai “jurus lompat pagar”. Yang paling populer dan digemari oleh kami adalah cara yang kedua. (cat. Karena dulu kami belum memahami apa arti curi, hahaha). Sesampainya di rumah pemilik TV kami mengumpulkan barang bawaan kami disalah satu sudut rumah dan mulai nonton. Ruangan TV tidak terlalu besar, sehingga kami  harus berdesak-desakan. Kami duduk bersila di lantai yang tanpa alas dan mengarahkan mata ke layar TV yang ditempatkan di meja yang lebih tinggi. Ketika film Wiro mulai kami akan konsen dan tak ada yang ribut satupun. Nyamuk gigit pun tidak dihiraukan. Film ini akan dimulai dengan soundtraknya yang berjudul Wiro Sableng. Syair lagunya sungguh kami hafal.  Setelah tayangan Wiro, akan dilanjutkan dengan film Brama Kumbara. Namun ini tergantung dari kebaikkan hati dari tuan TV. Karena tayangan yang wajib untuk kami hanya Wiro, sedangkan film Brama Kumbara bersifat fakultatif. Ketika pulang, kami akan mempraktekan kembali apa yang nonton. Ada yang menjadi Wiro, ada juga yang menjadi penjahat. Kami melakukan hal ini dari hari minggu yang satu ke hari minggu yang lainnya.
Akhirlah tibalah suatu hari minggu yang nas bagi saya dan teman-teman. Waktu itu teman-temanku menunggu didepan rumah. Saya berjalan mondar-mandir di dalam rumah dan gelisah, karena belum mendapatkan labu jepang. Maklum mau mengambil labu tapi ada ortu (takut bro,ma ortu….). Akhirnya seperti biasa kami melakukan “jurus lompat pagar” ke kebun orang. Namun sial, hari itu ada pemilik kebun. Sasaran operasi kami gagal total. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 berarti setengah jam lagi film Wiro dimulai. Kami runding bersama. Putar otak sampai pusing tujuh keliling. Bagaimana kalo kita masukkan batu ke plastik hitam, dan jadikan itu sebagai labu jepang; kata Yovran sahabat kami. Oke setuju, itu ide yang bagus, kata Kornel. Akhirnya kami mencari batu yang seukuran dengan buah labu jepang dan masukkan ke plastik. Hahaha, aman bro, hari ini kita bisa nonton Wiro. Kamipun bergegas ke rumah pemilik TV, mengumpulkan labu jepang yang ada di plastik hitam dan nonton. Episode pertama pun dimulai. Wiro ditantang oleh ketiga setan dari Tenggarong. Pertarungan seru. Wiro kewalahan meladeni ketiga setan ini. Namun lagi lagi sial. Sial lagi sial lagi. Entah setan apa yang merasuki otak pemilik TV, hari itu diadakan razia. Karena pemilik TV curiga bahwa ada diantara kami yang tidak membawa kayu bakar ataupun labu jepang. TV dimatikan sesaat. Semua keluar dan mengambil barang bawaannya masing-masing. Kami ketahuan membawa batu. Dimarahi pemilik TV. Sebenarnya kami tidak takut, tapi mengingat pemilik TV ini adalah salah seorang guru yang mengajar kami, maka kami tunduk dan sedikit gemetar. Semua diam membisu. Kami berdiri ditengah-tengah, dan diadilai oleh pemilik TV. Mungkin sama seperti Yesus yang diadili dihadapan Pilatus, hehehe.  Kami diusir pemilik TV. Pergi,…jangan pernah lagi kamu datang nonton dirumahku, kata pemilik TV dengan nada marah. Kami melangkah pergi. Tetapi seketika terdengar suara yang berteriak di tengah kerumunan. Tidak Pa, No jangan pulang, dia ada labu jepang Pa, teriak seseorang.(No adalah sapaan sayang keluarga dan sahabat untukku). Aku kenal suara itu. Itu suara Vira. Dia  sahabatku, orangnya manis, cantik dan bertipikal gadis Indian. Vira maju ke tengah kerumunan dan memberikan kantung plastiknya yang berisi labu Jepang.  Pemilik TV menerima kantung itu, dan mengelurkan isinya. Tapi ini hanya dua buah, ini untukmu karena itu No tetap pulang, dia tidak mempunyai labu Jepang,  kata pemilik TV sambil menatap Vira. Iya Pa, cuma dua buah  tapi itu saya berikan untuk No, izinkan  dia nonton Pa dan saya akan pulang; kata Vira sambil  melangkah pergi.
****
Setelah  tamat SD kami berpisah. Saya melanjutkan sekolah di salah satu kota di Pulau Sumba dan ia melanjutkan di kota Bajawa.  Kami jarang bertemu, paling sekali setahun ketika liburan natal. Kami hanya bersurat, maklum dulu belum ada Hp. Dalam suratnya dia banyak mengisahkan keadaan sekolahnya juga teman-temannya. Saya pun demikian. Saya banyak berkisah tentang indahnya panorama pulau Sumba. Padang Savananya yang indah, gadis-gadisnya yang ramah, perkampungan adatnya yang megah atau juga pantai-pantainya yang indah. Sampai suatu waktu, ketika saya duduk dibangku kelas 2 SMA mendapatkan surat darinya.
 Dia menulis;
No, maafkan aku. Ijinkanlah aku untuk berkata jujur. Dulu setiap minggu kita biasa bersama nonton  film Wiro. Tahukah kamu No, kalo dulu setiap minggu aku selalu membawa 4 buah labu jepang. Aku selalu membawa lebih No, dengan maksud untuk memberikan kepadamu, 2 untukmu dan 2 untukku. Namun hari itu, entah mengapa saya cuma membawa 2 buah labu jepang. Dan itu saya berikan kepadamu dengan setulus hatiku. Aku ingin engkau bahagia No, dan selalu bahagia. Karena kebahagianmu adalah kebahagianku juga.
No, tahukah kamu bahwa dirimu sangat berarti bagiku! Kehadiranmu dan bersahabat denganmu adalah sebuah anugerah terbesar dalam hidupku. Meskipun aku tak sesempurna dirimu, tapi aku merasa disempurnakan olehmu. Meskipun aku tak bisa berjalan, tapi aku merasa bisa dengan langkahmu. Meskipun hidupku selalu dirundung sepi dan derita, tapi aku bisa tersenyum dengan melihat senyum dan tingkahmu yang lucu.  Meskipun terasa berat dan susah ketika aku mendorong roda keretaku, tapi aku semangat melakukannya, karena engkau pernah melakukan itu untuk aku. Aku selalu ingat  No, ketika kamu mendorong keretaku ketika kita bermain di padang bersama teman-teman! Dan aku ingat juga ketika kamu menyelam untuk mengambil tongkatku, ketika si Jhon sahabat kita melemparkan tongkatku ke sungai! No ingatkan!! Dan meskipun semangat hidupku meredup, namun aku tetap tegar dan kuat, karena engkau adalah jiwaku. You are my Wiro Sableng.
Kota Dingin Bajawa, 14 Feb 2006.
Prayer & Love
Vira
Setelah membaca suratnya, Rektor memanggil saya ke kantor. Ini ada fax untukmu. Isinya menginformasikan bahwa sahabatmu Vira sudah meninggal. Kapan dia meninggal,tanyaku.  Tanggal  14 februari. Apa????? tanggal 14 Februari!!!
****
Vira, seorang sahabat sejatiku. Nama lengkapnya Maria Elvira. Kami tumbuh bersama. Menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja secara bersama-sama pula. Dia cantik dan anggun. Rambutnya pirang dan terurai bagaikan mayang padi. Hidungnya mancung dan kulitnya putih seperti gadis-gadis dalam film Koboy.  Tatapan matanya terasa sejuk, sesejuk embun pagi. Senyumnya senantiasa menghiasi bibirnya. Lesung pipihnya. Tingginya semampai, pinggulnya indah bagaikan biola Casanova dan buah dadanya bagaikan buah pohon kurma. Kecantikkannya menjadi bahan pembicaraan masyarakat, bahkan menyebar sampai ke desa tetangga. Namun dia cacat. Dia hanya memiliki satu kaki. Dia berjalan dengan bantuan tongkat atau kreta dorong (kursi roda). Dia juga menderita penyakit ganas entah apa namanya. Kami anak-anak dilarang tahu bahkan sampai sesudah kepergiaannya pun kami tak tahu. Orang-orang tua maupun orang-orang muda sering menyesali keadaan ini. Mengapa gadis yang cantik seperti ini, harus menderita? Bahkan beberapa pemuda seakan mengugat Tuhan;  Mengapa Tuhan, Engkau membiarkan gadis pujaan kami mengalami nasib seperti ini! Dia meninggal karena demam tinggi dan komplikasi. Dia menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan mendekap boneka Wiro Sableng. Itu adalah hadiah yang aku berikan padanya pada malam sebelum keberangkatan saya ke Sumba. Setengah tahun setelah kepergiannya ketika liburan sekolah, saya mengunjungi keluarganya dan mau berdoa di makamnya. Ayah, ibu dan kedua adiknya memelukku. Mereka menangis. Kemudian ibunya mengambil sebuah kotak dan memberikan padaku.  Ini hadiah dari Vira untukmu, kata ibunya sembari memberikan bingkisan itu. Dia membuatnya sendiri, menjelang hari-hari akhirnya. Kubuka kadonya. Ada setangkai mawar merah dan sebuah vas yang terbuat dari tanah liat. Bentuknya unik dan indah. Ada selembar kartu ucapan, Happy Valentine, my Wiro Sableng. Vira.
*****
Bersama ayah, ibu dan kedua adiknya kami berdoa dikuburnya. Disamping pusarannya ini, aku kenang kembali kisah yang pernah kami rajut bersama. Aku ingat senyumnya, kemanjaannya. Ingat masa kecil yang sering kami habiskan dengan menjelajah padang-padang rumput di belakang kampung sembari mengejar belalang dan kupu-kupu. Ingat ketika kami harus menelusuri anak-anak sungai sekedar berenang ataupun memancing. Aku ingat juga si Jhon yang selalu usil padanya, atau si Peter dan Kornel yang selalu mengagumi kecantikkannya. Dan tentu aku ingat 2 buah labu jepangnya.  
Terlintas juga dalam anganku, perjumpaan kami yang terakhir kalinya. Kala itu bulan desember, liburan natal. Senja itu, senja terakhir di  bulan desember. Dia duduk dalam kreta dan saya mendorongnya. Mari kita ke padang, aku ingin melihat matahari terbenam; katanya manja. Kami berjalan menyusuri lorong-lorong dusun. Mengambil sisi kanan kampung, agar lebih mudah menuju padang. Padang hanya berjarak lima ratus meter dari kampung. Bagiku, Vira maupun anak-anak dusun, padang mempunyai makna tersendiri. Padang bukan hanya sebagai tempat gembala sapi, kerbau ataupun kambing. Tetapi lebih dari itu, padang rumput adalah kebahagian kami. Disana tempat kami bermain, berkejar-kejaran, bersilat ria ala Wiro Sableng atau juga bermain “sembunyi-sembunyian” di semak-semaknya. Bagi anak-anak putri, padang adalah tempat untuk bermain tali merdeka. Dan jika saatnya bunga bakung mekar, mereka akan berlomba-lomba memetiknya. Dan disaat mawar-mawar liar mengeluarkan mahkotanya, mereka akan berebutan memetik, mencium kelopaknya dan membawanya kerumah.
Kami terus berjalan menuju padang. Sayup-sayup dikejauhan sana terdengar desahan angin yang menghempas hamparan padang. Lolongan anjing para gembala terdengar samar-samar. Suara burung cucak rowok melengking dari atas pohon Albesia. Semuanya berbaur menjadi satu seakan-akan menjadi orcesta alam yang senada. Ini musik alam, batinku. Kami berjumpa dengan beberapa orang yang pulang dari ladangnya. Ada seorang ibu yang menjunjung bakulnya. Seorang bapak yang menggendong anaknya. Kami kepadang, mau melihat matahari terbenam; jawab kami ketika mereka bertanya hendak kemana. Kami tiba dipadang, disaat matahari memamerkaan sinar keemasannya. Aku bopong Vira dari kretanya. Kami duduk direrumputan. Ia disebelah kanan. Kami menatap dikejauhan sana. Tampak siluet fatamorgana, berarti tidak lama lagi matahari akan terbenam. Petiklah bunga bakung untukku; pintanya. Tapi ini bulan desember, mahkota bunga bakung akan mekar pada bulan februari dan maret; jawabku. Bunga apa yang mekar di bulan desember; dia balik bertanya. Mawar-mawar liar, jawabku sambil memandang sekelompok tikus yang lari ketakutan. Petiklah setangkai untukku. Aku berlari mencari mawar-mawar liar. Ku cari yang terindah, kupetik setangkai dan memberikan kepadanya. Ini bunganya, setangkai kembang mawar merah; kataku. Ia menerima tanpa kata, hanya seutas senyum yang merekah dibibirnya. Kami duduk dalam diam. Hanya terdengar suara jengkrik dan derit katak-katak pohon yang mengejar mangsa untuk santap malamnya. Diatas langit, burung-burung gagak terbang bergerombolan kembali ke sarangnya, dan burung-burung pipit berterbang datar, sambil bersiul kegirangan. Burung puyuh mendendang suara baritonnya dan burung tekukur menyanyikan suaranya yang merdu. Lihat matahari akan terbenam, katanya memecah kebisuan. Posisi matahari tepat dipuncak bukit yang berdiri tegak diujung padang. Tak ada awan yang melintas. Sehingga kami bisa melihat bentuknya yang bulat dengan warnanya yang merah keemasan. Indah, ini luar biasa. Dia raih tanganku. Menggenggamnya erat. Kudepak kepalanya. Namun sayang, matahari memamerkan keindahannya hanya selama lima tarikan napas saja. Sesaat ia telah berada dibalik perbukitan. Ia menatapku dalam-dalam. Kucium keningnya dan iapun membalasnya. Ciuman yang tanpa ada unsur nafsu namun ciuman yang penuh dengan makna persaudaraan, kebersamaan dan persahabatan. Ayo kita pulang, hari hampir malam, kataku sembari menggendongya ke kreta. Tak kusangka inilah perjumpaan kami yang terakhir, disuatu Senja Terakhir di Bulan Desember.
****
Trima kasih Vira atas kebersamaan kita. Selalu ku ingatmu dalam doaku. Berbahagialah di surga. Dan Happy Valentine Vira, You are my angel. Kataku sambil menatap setangkai mawar merah dengan vasnya yang kuletakkan di meja belajarku.  


Disaat malam tak berbintang
Jogya, 13,02, 2012
Fransis No Awe

TERBANG

Sahabat adalah Jiwa lain dari Jiwa Kita