DEVIASI
SEKSUAL MANUSIA DAN
TANGGAPAN GEREJA
1.
Pengantar
Secara garis besar terdapat dua jenis
abnormalitas dalam fungsi, bentuk dan respon seksual yang ada dalam diri
manusia, yakni deviasi seksual dan disfungsi seksual. Deviasi seksual adalah perilaku
seksual yang berbeda dari standar yang ditentukan oleh suatu masyarakat
tertentu. Defenisi ini
merupakan karakterseksual pervetion dan hanya dalam sexual pervetion ada unsur
pelarangan secara khusus oleh hukum disemua negara. Deviasi seksual kerap dikaitkan
dengan parafilia
yang berarti dorongan dan fantasi seksual yang berulang, intens, atipikal.
Parafilia secara umum dibagi dalam dua bentuk yakni parafilia dengan koersif
dan non koersif. Parafilia koersif terjadi karena ada unsur pemaksaan, seperti
pemerkosaan, pedofilia, atau incest. Sedangkan parafilia non koersif terjadi
bukan karena pemaksaan, seperti hubungan di antara sesama lesbi atau homo.
Ada
beberapa perilaku
parafilia yang sebenarnya kerap digunakan oleh pasangan-pasangan yang ingin
menambah bumbu kehidupan seksual mereka, tentu saja dalam takaran ringan.
Contohnya: menampar bokong pasangan, diikat dengan longgar ketika berhubungan
seksual, dan sebagainya. Nah, kalau perilaku yang tadinya dimaksudkan untuk
variasi itu sudah menjadi menu wajib tak tergantikan yang senantiasa
menghantui, itu sudah melangkah menuju parafilia.
Disfungsi seksual berbeda dengan
deviasi seksual. Disfungsi seksual lebih pada perihal kesulitan dalam melakukan
aktifitas seksual yang normal. Disfungsi seksual ini tewujud dalam beberapa bentuk,
seperti gangguang orgasme yakni ejakulasi dini, atau juga dyspareunia yakni rasa sakit pada alat genital baik selama dan
sesudah senggama, juga vaginismus yakni
kejang otot vagina. Dalam paper ini,
kami hanya mengfokuskan pada persoalan deviasi seksual.
2.
Jenis-jenis Deviasi Seksual
Ada beberapa jenis deviasi seksual yang
terdapat dalam diri manusia.
A).
Homoseksual
Homoseksualitas
berasal dari kata Yunani; homoios
artinya sama dan sexus (Latin) yang
berarti jenis kelamin. Homoseksual menurut medical
Association di Inggris adalah preparation
erotic attraction to a member of the same sex, which usually but not inability
in values some physical expression of this attraction. Homoseksual juga
merupakan suatu daya tarik fisik atau erotis terhadap seseorang yang sama jenis
kelaminnya dan di dalam daya tarik erotis ini pada umumnya dituntut ekspresi
fisik. Karena itu seorang
yang homoseks akan terarik dan jatuh cinta kepada orang yang berjenis kelamin
sama.
Katekismus Gereja Katolik
mendefinisikan homoseksualitas sebagai hubungan antara para pria dan wanita
yang merasa diri tertarik dalam hubungan seksual semata-mata atau terutama kepada
orang yang sejenis kelamin, (KGK 2357). Homoseksualiatas muncul dalam berbagai
kebudayaan. Homoseksual sudah dikenal sejak tahun 600 SM. Adalah Sappho,
seorang penyair Yunani yang bersifat lesbi dan sering mengadakan hubungan
seksual dengan gadis-gadis. Karena itu homoseksual kadang disebut juga sebagai sapphisme, diambil dari nama Sappho. Homoseksual
juga muncul dalam kisah-kisah biblis, seperti penyelewengan besar yang terjadi
pada peristiwa Sodom dan Gemora, (bdk. Kej. 19:1-19), pewartaan Paulus kepada
jemaat di Roma, (bdk, Rom. 124-27), pewartaan Paulus kepada jemaat di Korintus,
(1 Kor 6:10) dan 1 Tim 1:10. Tradisi Gereja juga menjelaskan bahwa perbuatan
homoseksual adalah tidak baik, (Persona
Humane, 8). Karena Gereja melihat perbuatan ini melawan hukum kodrat,
karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi waktu persetubuhan. Di sisi lain
perbuatan itu tidak berasal dari satu kebutuhan untuk saling melengkapi secara
afektif dan seksual.
Menurut
sifatnya, homoseksual dibagi ke dalam dua kelompok yakni yang bersifat sementara
dan yang terus-menerus.
- Bersifat
Sementara.
Pada
hakikatnya tindakan homophilia yang bersifat sementara dilakukan oleh orang
yang heteroseksual sebagai akibat pengaruh faktor-faktor luar. Misalnya; homophilia pertumbuhan. Di masa pubertas
timbul dorongan seksual yang kuat. Anak mulai meninggalkan orang tuanya dan mengarahkan
perhatian seksualnya pada orang lain. Sifat ini hanya singkat saja dan hanya
terjadi pada masa perkembangan anak. Selain itu ada juga homophilia darurat, yakni timbul karena tidak ada kesempatan
hubungan heteroseksual. Misalnya terjadi di penjara atau asrama sejenis. Gejala
ini akan berhenti bila ada kesempatan hubungan heteroseksual.
- Bersifat tetus-menerus.
Hal
ini terjadi sejak lahir dan mempunyai kencenderungan untuk mengadakan persatuan
hidup dengan orang yang berjenis kelamin sama dalam bidang seks dan dalam
keseluruhan hidupnya.
Ada tiga teori
yang mencoba mengetengahkan sebab terjadinya homoseksual;
a). Teori pertama mendasarkan diri pada sebab-sebab biologis. Menurut teori
ini homoseks disebabkan oleh beberapa hal, yakni; kekurangan hormon androgen
(laki-laki), estrogen (wanita) juga karena keturunan.
b). Teori kedua, mendasarkan diri pada sebab-sebab psikologis. Menurut
Freud, semua orang dilahirkan sebagai manusia biseksual. Namun karena situasi
dan pengalaman masa kanak-kanak atau masa pendidikannya, orang bisa berubah
menjadi homoseksual.
c). Teori ketiga mendasarkan dirinya pada sebab biologis dan psikologis
diatas.
B).
Paedofilia
Berasal
dari kata paido yang berarti anak dan
philein yang berarti mencintai. Dalam
penyimpangan ini orang dewasa merasakan kepuasan seksual dengan mengadakan
persetubuhan dengan anak-anak. Penyebab dari pedofilia belum diketahui secara pasti.
Namun pedofilia seringkali menandakan ketidakmampuan berhubungan dengan sesama
dewasa atau adanya ketakutan wanita untuk menjalin hubungan dengan sesama
dewasa. Jadi bisa dikatakan sebagai suatu kompensasi dari penyaluran nafsu
seksual yang tidak dapat disalurkan pada orang dewasa.
Aktivitas seks yang
dilakukan oleh penderita pedofilia sangat bervariasi. Aktifitas tersebut
meliputi tindakan menelanjangi anak, memamerkan tubuh mereka pada anak,
melakukan masturbasi dengan anak, dan bersenggama dengan anak. Jenis aktivitas
seksual lain yang dilakukan juga bervariasi tingkatannya, termasuk stimulasi
oral pada anak, penetrasi pada mulut anak, vagina ataupun anus dengan jari,
benda asing, atau alat kelamin laki-laki. Akibat dari tindakan ini bagi korban
adalah trauma.
C).
Transeksualitas
Transeksualitas
adalah orang yang merasa tidak puas dengan jenis kelaminnya sendiri.
Transeksualitas ini harus kita bedakan dari interseksualitas,
yaitu seorang yang secara genetis wanita tetapi alat kelamin bagian luarnya
bercorak kelaki-lakian, atau seseorang yang secara genetis pria namun memiliki
ciri kelelakiannya kurang sempurna akibat buah pelir berfungsi tidak baik.
D).
Transvestisme
Transvestisme adalah jenis gangguan
perkembangan psikoseksual yang membuat anak laki-laki memiliki kecenderungan
untuk senang memakai pakaian perempuan, untuk kemudian saat berpakaian perempuan
tindakan dan perilakunya meniru tindakan dan perilaku perempuan, dan biasanya
pada saat yang sama anak tersebut memperoleh kenikmatan erotik-seksual. Perolehan
figur identifikasi dan tokoh idola dari tayangan yang secara intens ditonton
bisa saja menjadi salah satu penyebab berkembangnya perilaku transvestisme
tersebut. Penyebab perkembangan transvestisme lain adalah keinginan ibu yang
kuat untuk memiliki anak perempuan karena beberapa anak terdahulu berjenis
kelamin laki-laki. Keinginan yang kuat itu membuat anak tertentu, biasanya anak
bungsu, diperlakukan dan diasuh sebagai anak perempuan, antara lain dipakaikan
rok, dipanjangkan rambutnya, dan didandani sebagai anak perempuan. Biasanya
anak bungsu itu pun mewarisi karakteristik fisik ibu yang cantik, imut-imut,
dan lembut. Ekses spesifik lain dari pola asuh anak perempuan membuat anak
lebih dekat dengan ibu dan mendapat kesempatan lebih banyak mengambil alih
karakteristik keperempuanan dari kepribadian ibu. Dengan demikian, kenyamanan
anak laki-laki tersebut berperilaku keperempuanan akan lebih besar daripada
berperilaku kelelakian. Sebagai penyertaan lanjut dari kondisi tersebut adalah
berkembangnya minat erotik-seksual anak kemudian hari justru tertuju pada
laki-laki (sejenis) daripada terhadap perempuan (lain jenis). Dan perlu disimak
perkembangan lanjut dari keadaan transvestisme akan mengarah pada perkembangan
ke arah kepribadian homoseksual.
E).
Fetishisme
Fetishisme merupakan pemujaan yang
ditunjukan pada benda-benda mati atau bagian tubuh idolanya, sampai mendapatkan
kepuasan seksual. Pada
penderita fetishisme, aktivitas seksualnya disalurkan melalui bermasturbasi
dengan BH (breast holder), celana dalam, kaos kaki, sarung tangan, alat-alat
kecantikan, atau benda lain yang dapat meningkatkan hasrat atau dorongan
fetishis. Sehingga, orang tersebut mengalami ejakulasi dan mendapatkan
kepuasan. Namun, ada juga penderita yang meminta pasangannya untuk mengenakan
benda-benda favoritnya, kemudian melakukan hubungan seksual yang sebenarnya
dengan pasangannya tersebut. Penyimpangan semacam ini kebanyakan terjadi pada
perempuan.
F).Incest
Incest merupakan hubungan
seksual dengan pasangan yang masih mempunyai pertalian darah. Penyebabnya
adalah rasa takut dan ingin mendapatkan perhatian kasih sayang dari orang tua
atau kakaknya. Biasanya faktor lingkunganlah yang mempengaruhi kelainan ini,
yaitu karena adanya rasa cinta yang mendalam sebagai anggota keluarga. Selain
itu, incest bisa juga terjadi karena pemaksaan. Misalnya seorang ayah memaksa
anak kandungnya untuk berhubungan seksual.
G).
Voyeurism
Voyeurism
adalah kelainan seksual yang pada penderitanya memperoleh kepuasan seksual
dengan cara mengintip (peeping) atau
melihat orang lain yang sedang telanjang, mandi, atau bahkan berhubungan
seksual. Voyeurism ini kebanyakan
terjadi pada laki-laki, meskipun terjadi juga pada perempuan. Voyeurism umumnya terjadi pada kaum muda
dan single. Voyeurism bisa berujung
pada masturbasi untuk memuaskan nafsu seksual.
H).Gerontofilia
Gerontofilia
adalah suatu perilaku penyimpangan seksual dimana sang pelaku tertarik dan
mencari kepuasan kepada orang yang sudah berusia lanjut alias nenek-nenek atau
kakek-kakek.
I). Bestialiatas
Bestialiatas atau zoophilia adalah hubungan seksual antara manusia dengan binatang. Misalnya; manusia dengan kuda, anjing, sapi, kambing, ayam,
bebek, kucing, babi, simpanse. Jika bestialitas adalah sebutan untuk aktivitas
seksualnya, maka kecenderungan atau ketertarikan seksual manusia terhadap
binatang disebut zoofilia.
J).Nekrofilia
Nekrofilia adalah penyimpangan seksual dimana pelakunya melakukan hubungan seksual dengan orang yang sudah mati atau mayat. Dalam bahasa Yunani, nekro berarti mayat. Kelainan ini disebut juga thanatofilia atau necrolagnia.
Beberapa kebudayaan kuno melakukan hubungan ini sebagai media berkomunikasi dengan jin. Ada bebrapa contoh kasus yang pernah terjadi. Misalnya, Sersan Bertrand dari resimen
ke-74 militer Prancis pernah membongkar kuburan beberapa wanita dan berhubungan
seks dengan mayat wanita itu. Guido Henckel von Donnersmarck (mati 1916 ) juga
diduga melakukannya dengan mayat istri pertamanya yang ia simpan dalam tangki
alkohol raksasa. Ada juga orang bernama Henri Blot yang membongkar kuburan
seorang penari balet, Fernande Mery, pada Maret dan Juni 1886 dan berhubungan
seks dengan mayat itu.
K).Frotteurisme
Frotteurisme merupakan kelainan seksual dimana
pelakunya mendapatkan kepuasan seks dengan jalan menggesek-gesekkan bagian
tubuhnya ke orang lain di tempat umum seperti kereta, pesawat, bis, atau konser
musik. Aksi gesek-menggesek ini biasanya dilakukan dengan tangan atau juga
dengan alat kelamin yang dikenakan pada sembarang tubuh korban, termasuk pada
area kelamin korban. Mayoritas pelakunya adalah laki-laki dan kebanyakan
korbannya adalah perempuan, walau ada juga perempuan yang melakukannya kepada
laki-laki atau laki-laki kepada sesamanya.
L).
Exhibisionism
Exhibisionism
merupakan kepuasan seksual didapat dengan cara memperlihatkan penis secara
sengaja kepada perempuan atau anak kecil yang sesuai dengan keinginannya. Ini
terjadi karena ketidakmatangan dalam pengenalan akan lawan jenis dan sulit
dalam relasi antarpribadi. Tahapan awal munculnya kelainan ini adalah adanya
perasaan cemas, gelisah, tegang yang berkepanjangan. Setelah penderita memperlihatkan
penisnya, penderita merasa lebih tenang dan lega. Umumnya terjadi pada
laki-laki. Lebih
dari setengah dari semua pelaku exhibilitionist
adalah menikah, tapi hubungan seks mereka dengan istri-istri mereka tidak
memuaskan.
3.
Ajaran Gereja Katolik Tentang Seksualitas
Sebelum masuk pada diskusi
tanggapan Gereja terhadap permasalahan deviasi seksual terlebih dahulu kita
pahami maksud dan pemahaman Gereja mengenai seksualitas itu sendiri. Pada
umumnya para pemimpin Gereja memahami seksualitas berdasarkan apa yang
dikatakan dalam Kitab Kejadian. Disana dikatakan bahwa “Allah menciptakan
manusia seturut gambarNya, laki-laki dan perempuan diciptakan mereka”. Kemudian
Allah memberkati mereka dan berfirman “Beranakcuculah dan bertambah banyak”,
(Kej 1:27-28).
Pandangan dalam
Perjanjian Lama ini kemudian disempurnakan dalam Perjanjian Baru. Yesus tampil
sebagai tokoh yang memperbaharui pandangan ini seperti yang dikatakannya, “Pada
awal dunia, Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan; sebab itu
laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya, sehingga keduanya menjadi satu
daging. Sehingga mereka bukan lagi dua, melainkan satu”, (Mark 10: 6-8).
Dari kedua teks diatas,
para pimpinan Gereja Katolik kemudian mengajarkan bahwa;
a. Pria
dan wanita itu diciptakan dan diberkati Allah sendiri
b. Pria
dan wanita itu bersama-sama merupakan citra Allah
c. Pria
dan wanita itu memiliki martabat yang sama, yang berbeda adalah perannya
d. Pria
dan wanita diperintah oleh Allah untuk bersatu dan beranakcucu
e. Hubungan
seks hanya layak dilakukan oleh suami dan isteri yang bersedia bersatu
sepenuh-penuhnya dan bersedia pula menurunkan anak.
Dari sini kita dapat melihat bahwa Gereja
Katolik sangat menjunjungtinggi nilai seksualitas manusia. Seksualitas manusia
diberlakukan seturut ajaran Kitab Suci.
4.
Tanggapan Gereja Dari Segi Moral Seksualitas
Diatas sudah dijelaskan permasalahan
deviasi seksual dan ajaran resmi Gereja mengenai seksualitas. Tentu kita bisa
melihat bahwa ajaran resmi Gereja ini tidak sesuai dengan realitas yang ada,
dimana banyak terjadi kasus diviasi seksual. Meskipun diviasi ini tidak nampak
dalam ajaran Gereja atau terkesan bertentangan dengan ajaran resmi Gereja,
namun Gereja memiliki pandangan tersendiri mengenai beberapa kasus deviasi
seksual. Perlu diakui bahwa pihak Gereja hanya memberikan tanggapan terhadap
beberapa kasus deviasi saja. Beberapa diantaranya yakni;
A).
Tanggapan Gereja tentang Homoseksualitas
Gereja menanggapai
beberapa persoalan di atas dengan tetap mengacu pada tradisi dan magisterium.
a). Argumen pertama berdasarkan tradisi yang
menolak homoseks. Hal ini bertolak dari pemikiran pokok Gereja, yakni soal contra naturam yakni melawan kodrat.
Tindakan homoseks bertentangan dengan hukum kodrat, kerena bukan tindakan yang
mengarah pada keturunan. Argumen ini mengikuti pemikiran Agustinus (354-430).
Menurut Agustinus, hubungan seksual harus sesuai dengan tujuan dari perkawinan
yakni keturunan. Hubungan seksual yang tidak mempunyai tujuan ini menurut
Agustinus adalah perbuatan dosa.
b). Argumen kedua berdasarkan
Magisterium juga menolak terhadap homoseks. Pertama; Persona Humane, No. 8, yang menganggap larangan hubungan homoseks
sebagai ajaran tetap (doctrina constans)
Gereja dengan menunjuk pada teks biblis dan juga alasan ketiadaan prokreasi. Kedua;
Katekismus Gereja Katolik, No.2357-2358. Disana dikatakan “seorang homoseksual
dipanggil untuk hidup murni. Melalui kebajikan pengendalian diri, yang mendidik
menuju kemerdekaan batin, mereka dapat dan harus mungkin juga dengan bantuan
persahabatan tanpa pamrih, mendekatkan diri melalui doa dan rahmat sakramental
setapak demi setapak tetapi pasti menuju kesempurnaan Kristus, (No.2359).
c). DS 2044, homophilia ditolak bersama mollities
(masturbasi) dan bestialitas sebagai dosa sejenis.
Di sisi lain penting dipahami juga bahwa
terdapat dua macam hal yang berbeda yaitu, 1), kecenderungan homoseksual dan
2), menjadi pelaku homoseksual. Kecenderungan ketertarikan terhadap sesama
jenis itu belum membuahkan dosa sebelum dinyatakan dalam aktivitas seksual
homoseksual. Gereja Katolik menganggap kecenderungan ini sebagai “objective disorder“ ketidakteraturan
yang obyektif, karena menjurus kepada hubungan seksual yang tidak wajar.
Kecenderungan homoseksual di sini menyerupai kecenderungan yang dimiliki untuk
kebiasaan buruk lainnya, misalnya ada orang yang memiliki kecenderungan
pemarah, pemabuk, pemalas, dst. Kecenderungan ini baru akan berbuah menjadi
dosa, jika terus dituruti keinginannya. Dalam hal ini, jika mereka yang gay terus
bergaul dalam lingkungan gay dan mempraktekkan kehidupan seksual gaya gay,
demikian juga yang lesbi. Namun, jika tidak, maka kecenderungan tersebut tidak
berbuah dosa.
B).
Tanggapan Gereja tentang Onani
Gagasan mengenai onani
atau masturbasi terungkap dalam kitab Kejadian. Pandangan ini ditemukan dalam
kisah tentang seseorang yang bernama Onan. Disana dikatakan bahwa, “Setiap kali
menghampiri isteri kakaknya itu, ia (Onan) membiarkan maninya terbuang, supaya
ia tidak membuahkan keturunan demi kakaknya. Tetapi yang dilakukan itu jahat
dimata Tuhan, maka Tuhan membunuhnya”, (Kej 38:4-10). Berdasarkan pandangan
ini, pimpinan Gereja Katolik kemudian mengajarkan bahwa;
a) Pada
dasarnya, membuang sperma di luar hubungan seks suami-istri merupakan suatu
tindakan yang tidak layak
b) Maka
pada dasarnya onani tidaklah layak dilakukan
c) Meskipun
demikian, onani yang terjadi tanpa disengaja, misalnya karena adanya
problem-problem psikis, tidaklah selalu merupakan suatu perbuatan yang secara
moral jahat.
Karena itu, pimpinan Gereja Katolik
tetap menolak tindakan onani dan melihat hal itu bukan perbuatan yang baik.
C).
Tanggapan Gereja mengenai Kemurnian
Para pemimpin Gereja
mendasari pandangan kemurnian ini bertolak dari “Kesepuluh Firman Allah” yang
antara lain berbunyi “ Jangan berzinah dan jangan mengingini isteri orang lain”,
( Kel 20, 14.17). Padangan ini kemudian
diteruskan oleh Yesus dalam kotbahnya di bukit. Disana Ia menyerukan untuk
menjauhkan diri dari sikap perzinahan, (Mat 5, 27-28). Santo Paulus juga dalam
karya pewartaannya menganjurkan kepada pendengarnya untuk menjauhkan diri dari
bahaya percabulan.
Berdasarkan beberapa
pandangan diatas, pimpinan Gereja kemudian mengajarkan bahwa;
a) Orang
tidak layak berbuat cabul, dengan siapa pun juga
b) Orang
bahkan diharapkan menghindari keinginan untuk berbuat cabul dan menghindari
pornografi serta kesempatan-kesempatan yang menggoda.
4.
Langkah-Langkah Pastoral Dan Pendampingan
Gereja
menyadari bahwa tidak sedikit pria dan wanita yang sedemikian mempunyai
kecenderungan homoseksual yang tidak mereka pilih sendiri. Karena itu
perlu dianjurkan untuk pendampingan pastoral kepada mereka. Beberapa lankah
pastoralnya yakni;
a). Menghilangkan diskirimisi terhadap kelompok
homoskes. Hal ini berangkat dari situasi masyarakat sekarang yang menolak dan
tidak mengakui kehadiran mereka di tengah masyarakat. Akibatnya mereka merasa
takut, cemas, minder, rasa tidak diterima, ataupun dicurigai. Karena itu,
Gereja berusaha memahami situasi orang homoseks dan menerima mereka secara
terbuka dalam relasi sosial.
b). Berdialog dengan orang-orang homoseks serta
membagi pengalaman bersama mereka. Dari sini Gereja dapat mencari solusi bagi
mereka.
c). Memberikan pendampingan rohani, serta menjelaskan
kepada mereka makna perintah cinta kasih dalam Gereja dalam upaya menghayati
nilai seksualitas manusia.
d).Memberikan pendampingan medis terkait dengan
efek-efek negatif yang mungkin ditimbulkan dari penyimpangan-pentimpangan
seksual.
e). Sedapat mungkin Gereja mewadahi (penggerak) dalam
memberikan pendampingan psikologis. Dalam hal ini, Gereja bisa bekerjasama
dengan lembaga-lembaga sosial yang berkarya pada bidang kemanusiaan.
5.
Penutup
Seksualitas merupakan keseluruhan cara berada
manusia. Oleh karena itu, seksualitas selalu berkaitan dengan seluruh perilaku
manusia sebagai makhluk biologis. Jelas bagi kita, bahwa seksualitas manusia
sangat menentukan diri manusia sebagai pribadi dan sebagai makhluk sosial.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa tidak sedikit terjadi deviasi seksulitas
dalam kehidupan kita. Faktor-faktor terjadinya deviasi seksualitas telah
dijelaskan di atas sesuai dengan jenis-jenis deviasi seksualitas.
Bertolak
dari deviasi seksualitas inilah, Gereja merasa diri berkepentingan untuk
menanggapi segala persoalan tersebut. Walaupun dalam tubuh pemimpin Gereja
sendiri, ada saja penyimpangan seksualitas. Namun Gereja sebagai wakil Kristus
yang berpihak kepada orang lemah dan tak berdaya, tetap berseru dan
memperjuangkan nasib mereka, walaupun Gereja juga harus berani mengadili sesama
anggotanya sendiri.
Oleh
karena itu, Gereja juga harus secara
khusus memeprhatikan dirinya sendiri. Gereja harus menjadi teladan kebaikan dan
pemerhati deviasi seksualitas. Gereja perlu memperhatikan dengan baik mengenai
proses pendidikan para calon pemimpinnya. Gereja mengakui bahwa psikologi dapat
memberi masukan yang berharga dalam pembinaan para calon imam dan
biarawan-biarawati, demi mengembangkan dalam diri mereka kepribadian yang
seimbang. Bantuan yang ditawarkan oleh ilmu psikologi harus dipadukan di dalam
konteks yang menyeluruh dari pembentukan calon. Bantuan itu tidak boleh
menghambat, tetapi justru harus menjamin nilai-nilai yang tak tergantikan dari
bimbingan rohani. Bimbingan rohani dan psikologi harus berjalan bersamaan.
Keduanya tidak boleh dipisahkan atau saling meniadakan. Kedunya harus saling
melengkapi.
Seperti kata pepatah
“lebih baik mencegah, daripada mengobati” mungkin penting untuk kita dalam
mencermati masalah seksualitas. Sungguhpun telah terjadi deviasi di luar
kontrol, hal itu pun harus menjadi perhatian kita semua. Tugas kita adalah peka
dan tanggap terhadap segala penyimpangan tersebut dan bangkit untuk berbuat
sesuatu guna membantu mereka yang terjerat dalam masalah seperti ini.
Daftar
Pustaka
Buku
Abineno, J.L,.
1980
Seksualitas Dan Pendidikan Seksuil, Bpk
Gunung Mulia, Jakarta.
Hartani, Inge M.C.
2007
Pendidikan Anak Di Rumah Di Bidang Seksualitas, Komisi Pendampingan Keluarga
Keuskupan Agung Semarang, Semarang.
Konseng, A.,
1995
Menyingkap Seksualitas, Obor,
Jakarta.
Maas, K.,
1998
Teologi Moral Seksualitas, Nusa
Indah, Ende.
Tukan, S. J.,
1993 Metode Pendidikan Seks, Perkawinan dan
Keluarga, Erlangga, Jakarta.
Artikel
Marx,D. I dan Theol, D.,
2008
“Etika Kristen Dan Respon Terhadap Permasalahan Seksualitas Masa Kini:
Bimbingan Praktis” dalam STULOS
Jurnal Teologi STT Bandung, Vol.7, No.2.
Secara harafiah diartikan sebagai di luar cinta yang lazim atau di luar
kebiasaan yang diterima oleh masyarakat umum.
----“Perspektif
Etika Kristen Atas Masalah Seksualitas Di Masyarakat” dalam Jurnal
Teologi Stulos, Sep.2008, 136-137.
K. Maas, Teologi Moral Seksualitas, Nusa Indah,
Ende, 1998, 138.
Hal ini tidak
sesuai dengan ajaran Gereja mengenai tujuan dari perkawinan, bdk.
K. Maas, Teologi Moral Seksualitas, 139.