Intrik-Intrik Politik Dalam Novel LARUNG
LARUNG
Selayang Pandang
Novel Larung merupakan kelanjutan dari Saman. Novel ini berlatarbelakang pada masa orde baru yang sedang mengalami gonjangan. Dalam novel ini
mengupas kegiatan para aktivis bawah tanah yang ingin menumbangkan masa orde
baru. Larung salah satu tokoh baru dalam
novel ini. Dia memiliki kemisteriusan dalam menjalankan tugasnya. Bahkan ia
menjadikan ketiga kawannya bingung atas identitas dia sebenarnya. Larung,
seolah tidak memiliki ideologi. Dia tidak terlihat memihak ideologi manapun.
Tetapi ternyata dia adalah orang yang sangat waspada. Dia hanya ingin keadilan
untuk rayat, terutama kaum buruh. Ketegaran dan komitmennya ini akhirnya membawanya pada
suatu malapetaka, dimana Larung diakhiri hidupnya oleh para aparat. Novel ini
juga dibumbui dengan cerita cinta berbasik seks yang dieksploitasi secara
terang-terangan. Tidak ada hal yang tabu didalam naskah novel ini. Penulis
menuliskannya dengan gamblang tidak ada yang ditutupi. Dengan jalan cerita yang
mengalir, bersambung antara satu bab dengan bab lain. Ada beberapa tema yang
dikemas dalam novel ini. Sekiranya ada tiga tema, dimana dua tema merupakan
tema tambahan dan yang lain tema utama. Menurut saya tema utama dalam novel ini
adalah intrik-intrik politik sejak awal
orde baru sampai dengan saat-saat akhir orde baru. Sedangkan tema seks dan
magis merupakan tema tambahan (bumbu). Saya menoba memahami alur kisah ini
serta sekedar menafsirkan kira-kira apa maksud pengarang dalam mengangkat
tema-tema ini.
Tema
Pertama : Mitos dan Mistik
Tema mistik merupakan kelanjutan
dari novel Saman. Disana dikisahkan
bahwa ibunda Wisanggeni yang selalu gagal melahirkan. Kalaupun lahir itu hanya
bertahan hidup tiga hari saja. Kejanggalan itu sering terjadi ketika ibunda
Wisanggeni hamil. Novel Saman tidak
memberikan jabawan atas kemisteriusan ini. Sehingga menimbulkan kesan gantung,
juga membawa efek penasaran bagi para pembaca. Saya mengalami hal ini. Namun
dalam Larung, Ayu Utami memberikan jawabannya
atau lebih tepatnya membongkar keganjilan dan kemisteriusan peristiwa hilangan
janin dari rahim ibunda Wisanggeni. Ayu Utami tetap memakai tokoh Wisanggeni
untuk mengungkapkan peristiwa masa kecilnya. Dimana Wisanggeni sering melihat ibunya
bepergian ke hutan dan melakukan persetubuhan dengan roh-roh halus. Sehingga
anak yang dikandung bukanlah anak dari ayah Wisanggeni, melainkan anak dari
para roh. Meskipun Wisanggeni mengetahui kejadian yang menimpa ibunya, namun ia
tetap setia mencintainya. Bahkan lebih mencintainya.
Peristiwa yang hampir sama juga dialami oleh Larung.
Larung menghadapi peristiwa aneh, dimana neneknya tidak dapat meninggal
meskipun ciri kemanusiaannya sudah tidak normal. Larung sendiri melihat
neneknya bukan lagi sebagai seorang manusia, melainkan seonggok mayat atau
bangkai. Neneknya memakai jampi-jampi sehingga jiwanya tidak dapat berpisah
dari tubuh. Karena itu Larung berniat untuk membunuh neneknya. Untuk mewujudkan
aksi pembunuhan ini, Larung harus berpetualang mencari seorang wanita sahabat
neneknya. Karena melalui sahabat neneknya ini, Larung bisa memperoleh informasi bagaimana
cara melenyapkan hidup sang nenek. Bersama sahabat neneknya, Larung
berpetualang di dalam gua yang gelap gulita. Disanalah Larung melihat ada
kehidupan di dunia lain. Larung pulang dengan membawa enam cupu-cupu. Inilah
sarana yang digunakan untuk mengakhiri hidup sang nenek. Dari kedua kisah
mistik diatas saya mencoba menafsirkan
bahwa Ayu Utami yang hidup dijaman modern ini masih memiliki keyakinan akan
hal-hal mistis. Disisi lain hal-hal seperti ini masih tetap kuat dan bertahan
dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang diwakili oleh tempat kediaman Wisanggeni dan Larung.
Tema
Kedua : Seks dan Perlawanan terhadap Patriarki
Novel Larung merupakan kelanjutan dari Saman. Karena itu keseluruhan
peristiwa dalam Larung dapat dimengerti dalam satu-kesatuannya
dengan Saman. Demikian juga kisah
perihal dan perilaku seks. Perihal seks digambarkan oleh ketiga wanita dalam
novel ini, Yasmin, Cok dan Shakuntala. Ketiga sahabat ini menilai seks sebagai
sesuatu yang indah, nikmat dan pantas untuk merasakannya. Bahkan ketiganya
pernah melakukan dengan pacarnya masing-masing ketika masa SMA kecuali Laila.
Seperti pengakuan Cok, “Kenapa aku harus
menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat kenikmatan?
Enak di dia nggak enak di gue. Akhirnya kupikir bodoh amat ah, udah tanggung.
Aku pun melakukannya, sanggama”(Hlman 82-84). Permainan seks pun sering dilakukan Cok, sehingga ia dijuluki sebagai
Perek: Perempuan percobaan. Ada juga
nada protes dari Cok atas ketidakpuasannya terhadap masyarakat terhadap
wanita. Cok membandingkan antara perilaku
seks laki-laki dan perilaku seks wanita. Bila laki-laki tidur dengan banyak
wanita, maka dianggap sebagai jagoan. Arjuna. Tetapi bila wanita tidur dengan
beberapa pria maka akan dibilang piala bergilir. Pelacur. Padahal apa yang
dilakukan perempuan sama halnya dengan apa yang dilakukan laki-laki. Tetapi
perempuan mendapat cap jelek. Perempuan selalu dianggap obyek (Hlman 84).
Gambaran perihal dan perilaku seks
sangat transparan dalam tokoh Shakuntala. Shakuntala adalah sosok yang merdeka yang
membebaskan dirinya sesuka yang dia mau terutama dalam hubungannya dengan
laki-laki. Dia tidak terikat oleh perjanjian yang mengikat dengan laki-laki.
Dalam pengakuannya, Shakuntala telah menghilangkan keperawanannya di usia sembilan
tahun. Baginya keperawanan harus dipertanyakan kembali, harus dikritisi mengapa
keperawanan sebegitu pentingnya bagi seorang perempuan. Dia telah menemukan,
ternyata tidak ada yang istimewa dalam keperawanan, hanya sekedar sarang laba-laba
merah. Langkah Tala di usia remajanya adalah sebuah perlawanan terhadap
konstruksi sosial yang memuliakan laki-laki untuk diberi keistimewaan oleh
perempuan, sementara lelaki sendiri tidak pernah dipersoalkan keperjakaannya. Pemilihan
untuk melakukan hubungan seksual dengan beberapa lelaki merupakan sebuah
pemberontakan terhadap kemapanan patriarki. Dia telah memilih untuk memuaskan
dirinya dengan tidur dengan banyak lelaki. Tentang kehidupan seksual, Shakuntala
pun ternyata tidak hanya terpaku pada lawan jenis saja. Dirinya bisa menjelma
menjadi heteroseksual. Misalnya dia bisa bermesraan dengan Laila bahkan
mengajarinya cara mencapai orgasme yang sebetulnya. Ia lesbi. Beberapa gambaran
diatas menunjukkan bentuk-bentuk perlawanan terhadap dominasi seksual pria
terhadap wanita. Melalui tokoh, Yasmin, Cok dan Shakuntala, Ayu Utami mau
menunjukkan kepada khayalak bahwa tidak seharusnya perempuan tunduk terhadap
arogan laki-laki. Perempuan dapat berdiri sendiri atau dapat mencapai
kepuasannya sendiri tanpa terikat pada peran laki-laki.
Tema
Ketiga (Utama) : Intrik-Intrik Politik
Larung secara umum menggambarkan kehidupan
korban politik pada saat G 30 S PKI meletus sebagai latar awal cerita yang
dirangkai dengan berbagai peristiwa yang terhubung dengan kisah kisah awal yang
sudah diceritakan dalam novel Saman. Seperti diketahui, menjelang dan pasca meletusnya
pemberontakan PKI pada tahun 1965 telah menimbulkan trauma yang sangat mendalam
dalam memori masyarakat Indonesia. Dalam Larung,
kejadian tahun 1965 dikisahkan oleh nenek Larung. Dikatakan bahwa pasukkan
tentara mencari tokoh-tokoh yang dicurigai sebagai anggota PKI. Mereka ini harus
dibasmi. Para PKI dinilai sebagai
pemberontak dan dijadikan sebagai musuh utama pemerintah. Salah satu korbannya
adalah ayahnya Larung. Pemerintah dikuasai oleh kelompok orde baru, dengan
Soeharto sebagai pemimpinnya. Gambaran orde baru yang ditampilkan secara
terang-terangan dalam novel Larung,
teristimewa saat-saat akhir orde baru. Disana Ayu mengeritik sistem
pemerintahan, dimana kekerasan dijadikan sebagai sarana utama dalam menjalankan
pemerintahan, (Hlman 171). Puncaknya adalah tahun 1996. Dimana pada tahun ini
Megawati mulai menggelar mimbar bebas serta menyuarakan untuk menentang
Soeharto. Peristiwa pun akhirnya pecah pada tanggal 27 juli 1996. Masa pro
Megawati bentrok melawan pasukan rezim Orde Baru. Dari peristiwa ini lahirlah
suatu kesadaran bersama akan ketidakadilan yang dilakukan rezim Orde Baru. Peristiwa
ini akhirnya berimbas pada runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998. Peristiwa
ini ditandai dengan turunnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden
Indonesia.
Kesimpulan
Novel Larung merupakan sebuah penggugatan terhadap kemapanan yang
didominasi patriarki. Baik dominasi dalam bidang seksualitas maupun dalam
kehidupan sosial politik. Disisi lain novel ini mau membuka cakrawala pemikiran
ketimuran kita mengenai seksualitas. Bahwa
wanita tidak seharusnya tunduk
pada lelaki untuk mengemis kepuasan seksual. Tetapi perempuan dapat berdiri
sendiri untuk menggapai itu. Hal lain adalah novel ini mau mengeritik sistem
pemerintahan orde baru. Dimana kekerasan menjadi sarana untuk mengatasi segala
persoalan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar