Sabtu, 12 Mei 2012

Interpretasi Novel LARUNG (Ayu Utami)


Intrik-Intrik Politik Dalam Novel LARUNG

LARUNG  Selayang Pandang

Novel Larung merupakan kelanjutan dari Saman. Novel ini berlatarbelakang pada masa orde baru yang  sedang mengalami gonjangan. Dalam novel ini mengupas kegiatan para aktivis bawah tanah yang ingin menumbangkan masa orde baru.  Larung salah satu tokoh baru dalam novel ini. Dia memiliki kemisteriusan dalam menjalankan tugasnya. Bahkan ia menjadikan ketiga kawannya bingung atas identitas dia sebenarnya. Larung, seolah tidak memiliki ideologi. Dia tidak terlihat memihak ideologi manapun. Tetapi ternyata dia adalah orang yang sangat waspada. Dia hanya ingin keadilan untuk rayat, terutama kaum buruh.  Ketegaran  dan komitmennya ini akhirnya membawanya pada suatu malapetaka, dimana Larung diakhiri hidupnya oleh para aparat. Novel ini juga dibumbui dengan cerita cinta berbasik seks yang dieksploitasi secara terang-terangan. Tidak ada hal yang tabu didalam naskah novel ini. Penulis menuliskannya dengan gamblang tidak ada yang ditutupi. Dengan jalan cerita yang mengalir, bersambung antara satu bab dengan bab lain. Ada beberapa tema yang dikemas dalam novel ini. Sekiranya ada tiga tema, dimana dua tema merupakan tema tambahan dan yang lain tema utama. Menurut saya tema utama dalam novel ini adalah intrik-intrik politik  sejak awal orde baru sampai dengan saat-saat akhir orde baru. Sedangkan tema seks dan magis merupakan tema tambahan (bumbu). Saya menoba memahami alur kisah ini serta sekedar menafsirkan kira-kira apa maksud pengarang dalam mengangkat tema-tema ini.

Tema Pertama : Mitos  dan Mistik
            Tema mistik merupakan kelanjutan dari novel Saman. Disana dikisahkan bahwa ibunda Wisanggeni yang selalu gagal melahirkan. Kalaupun lahir itu hanya bertahan hidup tiga hari saja. Kejanggalan itu sering terjadi ketika ibunda Wisanggeni hamil. Novel Saman tidak memberikan jabawan atas kemisteriusan ini. Sehingga menimbulkan kesan gantung, juga membawa efek penasaran bagi para pembaca. Saya mengalami hal ini. Namun dalam Larung, Ayu Utami memberikan jawabannya atau lebih tepatnya membongkar keganjilan dan kemisteriusan peristiwa hilangan janin dari rahim ibunda Wisanggeni. Ayu Utami tetap memakai tokoh Wisanggeni untuk mengungkapkan peristiwa masa kecilnya. Dimana Wisanggeni sering melihat ibunya bepergian ke hutan dan melakukan persetubuhan dengan roh-roh halus. Sehingga anak yang dikandung bukanlah anak dari ayah Wisanggeni, melainkan anak dari para roh. Meskipun Wisanggeni mengetahui kejadian yang menimpa ibunya, namun ia tetap setia mencintainya. Bahkan lebih mencintainya.
            Peristiwa  yang hampir sama juga dialami oleh Larung. Larung menghadapi peristiwa aneh, dimana neneknya tidak dapat meninggal meskipun ciri kemanusiaannya sudah tidak normal. Larung sendiri melihat neneknya bukan lagi sebagai seorang manusia, melainkan seonggok mayat atau bangkai. Neneknya memakai jampi-jampi sehingga jiwanya tidak dapat berpisah dari tubuh. Karena itu Larung berniat untuk membunuh neneknya. Untuk mewujudkan aksi pembunuhan ini, Larung harus berpetualang mencari seorang wanita sahabat neneknya. Karena melalui sahabat neneknya ini,  Larung bisa memperoleh informasi bagaimana cara melenyapkan hidup sang nenek. Bersama sahabat neneknya, Larung berpetualang di dalam gua yang gelap gulita. Disanalah Larung melihat ada kehidupan di dunia lain. Larung pulang dengan membawa enam cupu-cupu. Inilah sarana yang digunakan untuk mengakhiri hidup sang nenek. Dari kedua kisah mistik diatas  saya mencoba menafsirkan bahwa Ayu Utami yang hidup dijaman modern ini masih memiliki keyakinan akan hal-hal mistis. Disisi lain hal-hal seperti ini masih tetap kuat dan bertahan dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang diwakili oleh  tempat kediaman Wisanggeni dan Larung.

Tema Kedua : Seks dan Perlawanan terhadap Patriarki
            Novel Larung merupakan kelanjutan dari Saman. Karena itu keseluruhan peristiwa dalam Larung  dapat dimengerti dalam satu-kesatuannya dengan Saman. Demikian juga kisah perihal dan perilaku seks. Perihal seks digambarkan oleh ketiga wanita dalam novel ini, Yasmin, Cok dan Shakuntala. Ketiga sahabat ini menilai seks sebagai sesuatu yang indah, nikmat dan pantas untuk merasakannya. Bahkan ketiganya pernah melakukan dengan pacarnya masing-masing ketika masa SMA kecuali Laila. Seperti pengakuan Cok, “Kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat kenikmatan? Enak di dia nggak enak di gue. Akhirnya kupikir bodoh amat ah, udah tanggung. Aku pun melakukannya, sanggama”(Hlman 82-84). Permainan seks pun sering dilakukan Cok, sehingga ia dijuluki sebagai Perek: Perempuan percobaan. Ada juga nada protes dari Cok atas ketidakpuasannya terhadap masyarakat terhadap wanita.  Cok membandingkan antara perilaku seks laki-laki dan perilaku seks wanita. Bila laki-laki tidur dengan banyak wanita, maka dianggap sebagai jagoan. Arjuna. Tetapi bila wanita tidur dengan beberapa pria maka akan dibilang piala bergilir. Pelacur. Padahal apa yang dilakukan perempuan sama halnya dengan apa yang dilakukan laki-laki. Tetapi perempuan mendapat cap jelek. Perempuan selalu dianggap obyek (Hlman 84).
            Gambaran perihal dan perilaku seks sangat transparan dalam tokoh Shakuntala. Shakuntala adalah sosok yang merdeka yang membebaskan dirinya sesuka yang dia mau terutama dalam hubungannya dengan laki-laki. Dia tidak terikat oleh perjanjian yang mengikat dengan laki-laki. Dalam pengakuannya, Shakuntala telah menghilangkan keperawanannya di usia sembilan tahun. Baginya keperawanan harus dipertanyakan kembali, harus dikritisi mengapa keperawanan sebegitu pentingnya bagi seorang perempuan. Dia telah menemukan, ternyata tidak ada yang istimewa dalam keperawanan, hanya sekedar sarang laba-laba merah. Langkah Tala di usia remajanya adalah sebuah perlawanan terhadap konstruksi sosial yang memuliakan laki-laki untuk diberi keistimewaan oleh perempuan, sementara lelaki sendiri tidak pernah dipersoalkan keperjakaannya. Pemilihan untuk melakukan hubungan seksual dengan beberapa lelaki merupakan sebuah pemberontakan terhadap kemapanan patriarki. Dia telah memilih untuk memuaskan dirinya dengan tidur dengan banyak lelaki. Tentang kehidupan seksual, Shakuntala pun ternyata tidak hanya terpaku pada lawan jenis saja. Dirinya bisa menjelma menjadi heteroseksual. Misalnya dia bisa bermesraan dengan Laila bahkan mengajarinya cara mencapai orgasme yang sebetulnya. Ia lesbi. Beberapa gambaran diatas menunjukkan bentuk-bentuk perlawanan terhadap dominasi seksual pria terhadap wanita. Melalui tokoh, Yasmin, Cok dan Shakuntala, Ayu Utami mau menunjukkan kepada khayalak bahwa tidak seharusnya perempuan tunduk terhadap arogan laki-laki. Perempuan dapat berdiri sendiri atau dapat mencapai kepuasannya sendiri tanpa terikat pada peran laki-laki.        

Tema Ketiga (Utama) :  Intrik-Intrik Politik
            Larung secara umum menggambarkan kehidupan korban politik pada saat G 30 S PKI meletus sebagai latar awal cerita yang dirangkai dengan berbagai peristiwa yang terhubung dengan kisah kisah awal yang sudah diceritakan dalam novel Saman. Seperti diketahui, menjelang dan pasca meletusnya pemberontakan PKI pada tahun 1965 telah menimbulkan trauma yang sangat mendalam dalam memori masyarakat Indonesia. Dalam Larung, kejadian tahun 1965 dikisahkan oleh nenek Larung. Dikatakan bahwa pasukkan tentara mencari tokoh-tokoh yang dicurigai sebagai anggota PKI. Mereka ini harus dibasmi. Para PKI  dinilai sebagai pemberontak dan dijadikan sebagai musuh utama pemerintah. Salah satu korbannya adalah ayahnya Larung. Pemerintah dikuasai oleh kelompok orde baru, dengan Soeharto sebagai pemimpinnya. Gambaran orde baru yang ditampilkan secara terang-terangan dalam novel Larung, teristimewa saat-saat akhir orde baru. Disana Ayu mengeritik sistem pemerintahan, dimana kekerasan dijadikan sebagai sarana utama dalam menjalankan pemerintahan, (Hlman 171). Puncaknya adalah tahun 1996. Dimana pada tahun ini Megawati mulai menggelar mimbar bebas serta menyuarakan untuk menentang Soeharto. Peristiwa pun akhirnya pecah pada tanggal 27 juli 1996. Masa pro Megawati bentrok melawan pasukan rezim Orde Baru. Dari peristiwa ini lahirlah suatu kesadaran bersama akan ketidakadilan yang dilakukan rezim Orde Baru. Peristiwa ini akhirnya berimbas pada runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998. Peristiwa ini ditandai dengan turunnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden Indonesia.

Kesimpulan
            Novel Larung merupakan sebuah penggugatan terhadap kemapanan yang didominasi patriarki. Baik dominasi dalam bidang seksualitas maupun dalam kehidupan sosial politik. Disisi lain novel ini mau membuka cakrawala pemikiran ketimuran kita mengenai seksualitas. Bahwa           wanita tidak seharusnya tunduk pada lelaki untuk mengemis kepuasan seksual. Tetapi perempuan dapat berdiri sendiri untuk menggapai itu. Hal lain adalah novel ini mau mengeritik sistem pemerintahan orde baru. Dimana kekerasan menjadi sarana untuk mengatasi segala persoalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar