Senin, 14 Mei 2012

Belajar Kitab Suci




MAKNA PENEBUSAN ANAK SULUNG
DALAM KEL 13,1-16, BAGI UMAT ISRAEL




Akulah Gembala yang baik

I. Pengantar

            Peristiwa Keluaran bangsa Israel dari Mesir merupakan kisah iman umat Israel, dimana Allah berkarya menyelamatkan bangsa Israel dari perbudakkan Mesir. Kisah ini berawal ketika Allah memilih bangsa Israel sebagai bangsa pilihan yang nanti mendiami tanah terjanji; Kanaan. Kisah iman terlahir dari sebuah fakta kelam bahwa umat Israel berada dalam situasi perbudakkan Mesir. Dalam masa pemerintahan raja-raja Mesir, Israel dijadikan budak dan dianggap sebagai masyarakat marginal yang dipandang rendah oleh penduduk dan raja-raja Mesir. Kehadiran mereka ditanah Mesir dimanfaatkan oleh penguasa Mesir dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup warga Mesir dengan menjadikan mereka sebagai pekerja. Inilah realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri sekaligus sebagai awal kisah perjumpaan antara Allah dan umat Israel.
            Dalam situasi perbudakkan ini, Allah membimbing Israel untuk keluar dari tanah Mesir. Sebagai bangsa pilihan, Allah tidak berkenan Israel hidup menderita dan berada dalam situasi perbudakkan. Allah berperan dalam kehidupan Israel dan berkenan membawa mereka keluar dari tanah Mesir menuju tanah nenek moyang Israel, tanah yang dijanjikan Allah. Allah mengawali peristiwa Keluaran ini dengan menampakan diriNya kepada Musa di Gunung Horeb dan memilih Musa sebagai pemimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Dalam bimbingan dan penyertaan Allah, serta dibawah pimpinan Musa Israel mampu keluar dari mesir.
Beberapa ekseget menilai bahwa Keluaran dari Mesir ini sebagai peristiwa yang menyatukan Israel sebagai bangsa (nation[i]). Peristiwa Allah yang bertindak untuk membebaskan dan membawa Israel keluar dari Mesir menjadi peristiwa inti dalam iman orang Israel[ii]. Inilah fakta sejarah bahwa Israel sebagai bangsa pilihan Allah sekaligus menjadi fakta iman orang Israel. Kisah Keluaran dan perjalanan di padang Gurun hanya dapat dimengerti sebagai karya Allah, dan Allah yang terlibat dalam keseluruhan hidup bangsa Israel. Keluaran dari mesir, peristiwa Sinai, pengembaraan Israel dipadang Gurun dan masuknya mereka ke tanah yang dijanjikan, secara bersama-sama sebagai suatu rentetan peristiwa dalam sejarah[iii].

II. Konteks Historis dan Latar Belakang Teks
            Hal utama dalam usaha memahami  makna dari peristiwa penebusan anak sulung adalah menyimak konteks sejarah dan latar belakangnya. Peristiwa penebusan anak sulung yang terjadi sesudah malam pembebasan bangsa Israel dari Mesir mempunyai dasar pengalaman iman antara umat Israel dan Allah yang mereka sembah. Dalam pengalaman iman ini, kita dapat melihat bagaimana relasi Israel dan Yahwe dalam keseluruhan sejarah Israel. Relasi ini dapat dilihat dari dua sisi, yakni; pertama, Allah yang bersedia memberikan diri kepada Israel dan kedua, tanggapan umat Israel atas pemberian diri Allah. Pemberian diri Allah kepada bangsa Israel sebagai bentuk pilihan bebas Allah dan Israel menjadi bangsa pilihan dari antara bangsa lain. Israel sebagai bangsa yang dipilih dari antara bangsa lain, dituntut janji kesetiannya kepada Allah yang telah memberikan diriNya. Relasi antara Israel dan Allah, dapat diposisikan sebagai sebuah perjanjian yang harus dipenuhi. Allah menjanjikan suatu keselamatan, dan keselamatan ini akan dipenuhi bila Israel menaati serta setia pada Allah. Peristiwa keluarnya bangsa Israel dari penjajahan Mesir dimengerti dalam pengertian penuhan janji keselamatan Allah. Dan pengorbanan anak sulung dari bangsa Israel, memiliki banyak dimensi arti yang dapat ditafsir dan dimengerti dari berbagai perspektif.

2.1 Latar Belakang Teks
            Teks Kel 13,1-16 diperkirakan ditulis sesudah malam pemaklumatan pembebasan bangsa Israel. Untuk memahami secara mendalam teks ini, kita harus mengetahui terdahulu konteks sejarah Israel ketika berada di Mesir dan saat-saat menjelang keluaran dari Mesir. Sejarah mencatat bahwa raja Hiksos menguasai Mesir kira-kira 100 tahun lamanya, kemudian pada tahun 1550 Mesir kembali ke tangan penduduk asli Mesir dan berhasil membebaskan diri dari penindasan raja Hiksos. Josephus, seorang ahli sejarah Yahudi pada masa kuno, memperkirakan peristiwa Keluaran berlangsung pada saat yang sama. Selain Josephus  terdapat beberapa pendapat lain mengenai waktu keluaran dari Mesir ini. Dalam paper ini, saya memfokuskan penentuan waktu keluaran dari Mesir menurut Alkitab. Dalam Alkitab terdapat dua pendapat mengenai keluaran dari Mesir yang berbeda satu terhadap yang lain. Pertama, menurut Kel 12, 37.40 “kemudian berangkatlah orang Israel dari Raamses ke Sukot, kira-kira enam ratus ribu orang laki-laki berjalan kaki, dan tidak termasuk anak-anak. Lama orang Israel diam di Mesir adalah empat ratus tiga puluh tahun setelah Yusuf dan keluarganya berpindah ke mesir”. Kedua, menurut I Raja-raja 6.1, keluaran dari Mesir itu berlangsung 480 tahun sebelum pembangunan bait Allah. Bait Allah diperkirakan dibangun sekitar tahun 958, dan dari sini dapat dihitung bahwa keluaran dari Mesir berlangsung sekitar tahun 1438 SM. Perhitungan 480 tahun ini, mungkin secara simbolis menunjuk pada 12 generasi, zaman yang berlangsung selama masing-masing generasi dihitung 40 tahun.

2.2 Pengorbanan Dalam Tradisi Lokal Palestina
            Pengorbanan hewan maupun anak manusia sudah dikenal dalam budaya Palestina umumnya. Pengorbanan hewan merupakan sebuah tradisi lokal dalam kalangan gembala Palestina. Mengingat bahwa matapencaharian umumnya di daerah Timur Tengah adalah peternakan. Kebiasaan para gembala ketika bulan purnama tiba adalah mempersembahkan seekor atau lebih hasil gembalaannya kepada dewa-dewi, yang mereka yakini sebagai penjaga bagi mereka dan gembalaan mereka. Tujuan lain dari pengorbanan ini adalah agar para gembala berserta gembalaannya selamat dan luput dari ancaman-ancaman binatang buas. Pada malam bulan purnama, beberapa gembala akan berkumpul membentuk kelompok-kelompok beserta ternak, dan mengadakan upacara pengornanan ini.
            Selain pengorbanan hewan atau ternak piaraan, penduduk Palestina mengenal juga tradisi pengorbanan anak manusia. Pengorbanan ini lebih dikenal dalam tradisi Kanaan kuno. Perngorbanan anak manusia biasa dipersembahkan kepada dewa Molokh. Dewa ini diyakini sebagai dewa kesuburan bagi tanah Kanaan serta memberikan kehidupan bagi bangsa Kanaan. Sebagai imbalan atau sebagai penghargaan kepada dewa ini, adalah mengorbankan seorang anak manusia.


III. Makna Penebusan Anak Sulung
            Teks tentang penebusan anak sulung yang terdapat dalam Kel 13,1-16 merupakan sebuah teks sisipan. Bila membandingkan dengan teks sebelumnya Kel 12,43-51 kita akan menemukan ketidakcocokkan. Dari sudut kronologis peristiwa, cerita yang ada dalam bab 12 lebih cocok dengan kel 13, 17-22. Ada kesinambungan cerita dan susunan peristiwanya sangat logis. Dalam Kel 12,43-51 kita mengetahui bahwa pada malam persiapan keberangkatan umat Israel dari Mesir, Allah hanya berfirman kepada Musa mengenai paskah. Dan pada hari itu  Allah membawa membawa orang Israel  keluar dari Mesir (Kel 12,51). Teks ini cocok dengan peristiwa dalam Kel 13, 17-22, dari sudut pandang kronologis peristiwa lebih sesuai, saling berurut-urutan dan berkesinambungan. Dan teks tentang penebusan  anak sulung dalam Kel 13, 1-16 merupakan sisipan, karena tidak sesuai dengan alur cerita atau tidak sesuai dengan kronologis peristiwa yang terdahulu maupun peristiwa yang ada didepannya. Teks penebusan anak sulung ditempatkan disini, karena dikaitkan dengan kematian anak sulung Mesir yang terdapat dalam tulah yang kesepuluh. Teks ini juga tidak sesuai dengan penetapan perayaan paskah.
            Dalam Kel 13, 1-16 kita dapat membaginya menjadi dua bagian. Pertama; Allah berfirman kepada Musa tentang pengorbanan anak sulung hewan atau anak sulung ternak dan anak sulung Israel. Kedua; Musa menyampaikan itu kepada bangsa Israel. Peran Musa  disini sebagai mediator antara Allah dan bangsa Israel. Dari teks ini, kita mengetahui bahwa Allah sendirilah yang menghendaki pengorbanan ini, “Kuduskanlah bagiKu semua anak sulung, semua yang lahir terdahulu dari kandungan pada orang Israel, baik pada manusia maupun pada hewan, Akulah yang empunya mereka” Kel 13,2. Teks ini menjadi dasar tradisi bagi umat Israel untuk mengorbankan semua anak sulung hewan maupun manusia kepada Allah. Umat Israel meyakini bahwa semua yang sulung adalah milik Allah. Anak sulung hewan, khusunya domba dijadikan persembahan, sedangkan anak sulung manusia ditebus sebagai peringatan pada malam persiapan keluar dari Mesir, dimana pada waktu itu semua anak sulung Mesir dibunuh. Anak sulung hewan yang pantas dikorbankan adala domba yang lahir tanpa ada cacat cela, sedangkan keledai hanya dipatahkan batang lehernya dan tidak dijadikan korban, karena keledai termasuk hewan yang haram.

3. 1  Anak Sulung Hewan
            Dalam teks 13,1-16 nuansa yang kita rasakan adalah seruan-seruan nasihat agar umat Israel memperingati hari pembebasan dari Mesir. “Peringatilah hari ini, sebab pada hari ini kamu keluar dari Mesir, dari rumah perbudakkan; karena dengan kekuatan tanganNya Tuhan telah membawa kamu keluar dari sana,” Kel 13, 3. Musa menghendaki peristiwa penyelamatan terus dikenang oleh umat Israel, sebagai peristiwa besar dan ajaib dimana Allah terlibat sepenuhnya dalam peristiwa itu. Sebab dengan tangan yang kuat Allah membawa mereka keluar dari Mesir. Sebagai balasan atas keterlibatan Allah ini, umat Israel harus mempersembahkan bagi Tuhan segala hewan yang lahir terdahulu dan beranak pertama kalinya. “Maka haruslah kau persembahkan bagi Tuhan segala yang lahir terdahulu dari kandungan; juga setiap kali ada hewan yang kau punyai beranak pertama kali, anak jantan adalah bagi Tuhan,” Kel 13,12b.
            Persoalan yang muncul disini adalah, mengapa yang menjadi korban penebusan adalah segala yang lahir terdahulu atau yang sulung? Persoalan ini masih berkaitan dengan Kel 12, yakni tentang tulah yang kesepuluh. Dalam kisah ini, Allah membunuh semua anak sulung Mesir, baik anak sulung binatang maupun anak sulung manusia. Hal ini menjadi jelas bahwa pengorbanan anak sulung sebagai peringatan atau untuk mengingat peristiwa pada malam pembebasan Israel. Allah membebaskan Israel dengan menciptakan suasana duka yang mendalam di kalangan Mesir. Ketika orang-orang Mesir larut dalam kesedihan, mereka tak kuasa menahan umat Israel yang memulai perjalanan menuju tanah terjanji, Kanaan. Pengorbanan anak sulung hewan atau ternak yang sulung dapat ditafsir dan dimengerti dalam konteks pembebasan Israel ini. Beberapa tafsiran dari konsep pengorbanan anak sulung; pertama, maksud pengorbanan anak sulung dalam teks ini adalah sebagai “ungkapan syukur”  atas peristiwa penyertaan Allah terhadap umat Israel. Hal ini sesuai dengan latar belakang teks. Teks ini diperkirakan umat Israel masih berada dalam perjalanan menuju Kanaan. Dan rasa syukur Israel kepada Allah diwujudkan dengan pengorbanan anak sulung hewan yakni anak domba sulung yang tanpa cacat cela. Israel wajib dan harus bersyukur pada Allah, karena atas karya dan peran Allah yang mampu membawa mereka keluar dari tanah Mesir. Sisi lain pujian syukur Israel kepada Allah adalah karena Allah telah menepati salah satu janji keselamatanNya, yakni membawa Israel keluar dari Mesir. Peristiwa ini sebagai tanda nyata bahwa Allah sungguh mencintai umat pilihanNya. Sebagai bentuk ucapan syukur ini, bangsa Israel harus mengorbankan anak domba yang sulung kepada Allah. Ada beberapa tafsiran, mengapa hewan yang harus dikorbankan adalah seekor domba yang sulung, dan bukan keledai. Persoalan mengapa harus domba dapat kita jawab dengan melihat pengalaman iman nenek moyang Israel sendiri, yakni pengalaman Abraham. Abraham mempersembahkan domba sebagai korban bakaran kepada Allah, (Kej 22, 13). Dari keseluruhan cerita tentang korban bakaran Abraham dalam kej 22, dapat kita ketahui bahwa Allah sendiri yang menyediakan domba sebagai korban bakaran, Kej 22, 8. Kisah ini merupakan fakta sejarah iman nenek moyang Israel. Penafsiran lain karena domba merupakan hewan piaraan atau ternak dalam kalangan masyarakat Israel, dan daging domba menjadi bahan konsumsi bagi umat Israel.
            Tafsiran yang kedua adalah, pengorbanan anak sulung sebagai “peringatan” akan karya Allah yang telah membebaskan Israel dari perbudakkan Mesir. Umat Israel melihat keluaran dari Mesir sebagai peristiwa iman, dimana Allah turut berpartisipasi dalam proses pembebasan itu. Sebagai peristiwa iman, maka pantaslah bila hal ini diperingati dalam sejarah hidup bangsa Israel. Musa sebagai pemimpin utama Israel, menyerukan  agar umat Israel memperingati hari pembebasan ini. “Peringatilah hari ini, sebab pada hari ini kamu keluar dari Mesir, dari rumah perbudakkan; karena dengan kekuatan tanganNya Tuhan telah membawa kamu keluar dari sana” Kel 13,3. Pokok seruan Musa ini adalah agar umat Israel memandang peristiwa keluaran sebagai  peristiwa penyelamatan Allah. Dengan tanganNya yang kuat Allah membawa Isarel keluar dari Mesir. Penyebutan kata “dengan tangan yang kuat” mau menunjukkan identitas Allah yang hadir secara nyata dalam proses pembebasan itu. Dengan tangan yang kuat pula, Allah membawa keluar umat Israel. Maksud  dari Allah yang membawa Israel adalah Allah yang melepaskan penderitaan, membebaskan dari perbudakkan, meluputkan, meyelamatkan serta membimbing untuk menuju tanah terjanji. Sejumlah kata kerja diatas, mau menyatakan aspek perbuatan atau tindakkan Allah yang nyata bagi umat Israel[iv]. Karena itu umat Israel harus memperingati hari pembebasan itu serta menyadari bahwa peristiwa itu merupakan perbuatan atau karya Allah semata-mata.
Tafsiran yang ketiga adalah, pengorbanan anak sulung sebagai tindakkan pengudusan bangsa Israel. Allah telah memilih Israel dan membawa Israel keluar dari tanah Mesir. Konsekuensi dari peristiwa ini adalah Israel berpisah dari Mesir sekaligus menjadi bangsa baru yang dipilih Allah dari antara bangsa-bangsa lain. Menjadi tuntutan utama bangsa Israel sebagai bangsa pilihan adalah mereka harus kudus, karena Allah sendirilah adalah kudusserta Allah hadir di tengah-tengah umat Israel. . Tuntutan ini nampak dalam Im 11, 44 “Sebab Akulah Tuhan AllahMu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus, dan janganlah kamu menajiskan dirimu dengan setiap binatang yang mengeriap dan merayap di atas bumi”. Untuk menguduskan diri, Israel mempersembahan korban sebagai silih atas dosa seluruh bangsanya. Korban ini sebagai korban tebusan dosa bangsa Israel. Dengan mempersembahkan korban penghapus dosa, maka umat Israel menjadi bangsa yang kudus. Hal ini dilihat dari segi pemenuhan tuntutan untuk bangsa Israel. Dimensi pengudusan Israel dapat dilihat juga dari keterlibatan Allah didalamnya. Dalam arti ketika Allah memilih dan membawa Israel keluar dari Mesir, disaat itu pula Allah menguduskan Israel, oleh karena itu keluaran dari Mesir adalah juga merupakan pengudusan Israel[v].

3.2 Anak Sulung Manusia
            Bangsa Israel setelah keluaran dari Mesir menjadi bangsa yang baru. Israel memperoleh identitas baru pula, yakni sebagai bangsa pilihan Allah. Sebagai bangsa baru, tentu Israel mau membangun suatu tradisi baru dengan seluruh tata hidup serta norma hidup yang baru. Hal ini masih berkaitan dengan tutuan aspek kekudusan bangsa Israel sebagai bangsa terpilih. Kesepuluh perintah Allah sebagai pegangan awal Israel dalam praktek hidup berbangsa, selanjutnya hokum-hukum Israel yang baru lainnya terdapat dalam kitab imamat. Meskipun sebagai bangsa yang baru, namun efek fenomenologis agama dan tradisi lokal Palestina tetap member pengaruh dalam kehidupan mereka sebagai bangsa baru. Hal ini tampak dalam persoalan memberi tebusan anak manusia kepada Allah. Pada awal telah dijelaskan bahwa tradisi pengorbanan anak manusia telah dikenal di tanah Kanaan, sebagai persembahan kepada dewa Molokh, dewa kesuburan bagi tanah Kanaan. Berangkat dari realitas tradisi ini, umat Israel baru mengorbankan anak sulungnya kepada Allah. Pada tahap ini, Israel mengartikan secara baru tentang konsep pengorbanan ini. Pengorbanan tidak diartikan lagi sebagai persembahan kepada dewa pujaan mereka dengan cara membunuh seorang anak manusia, tetapi dimengerti sebagai “penyerahan” kepada Allah sebagai dewa tertinggi dan tunggal dalam bangsa Israel. Peristiwa iman dari keluaran selain mengakui Allah sebagai pembebas juga membawa pengertian bahwa Allah yang membebaskan mereka sebagai Allah satu-satunya yang tertinggi.
            Terlepas dari dimensi pengorbanan anak manusia dalam tradisi lokal, ada beberapa penafsiran makna konsep penebusan anak sulung manusia dalam Kel 13. Pertama, penebusan anak sulung manusia masih berkaitan dengan tulah yang kesepuluh, yakni pada malam keluaran Israel dari Meisr, Allah membunuh tiap-tiap yang sulung di tanah Mesir dan Allah membuat kesedihan mendalam bagi Mesir. Dalam situasi ini, bangsa Israel tidak mampu menahan bangsa Israel, dan berangkatlah bangsa Israel dari Mesir. Penebusan anak sulung Israel dapat dipahani dari konteks peristiwa malam pembebasan ini. Hal utama yang menjadi perhatian pokok dari aspek penebusan ini adalah agar umat Israel mengingat bahwa Allah sendirilah yang membawa Israel keluar dari mesir tanpa ada campur tangan dari pihak bangsa Israel. Tafsiran kedua, penebusan anak sulung sebagai tanda keutuhan relasi antara Allah dan umat Israel. Allah telah memilih Israel dari antara bangsa lain, dan Israel menjadi milik Allah seutuhnya. Untuk melanggengkan ikatan relasi ini, umat Israel harus menebus anak sulung kepada Allah. Dengan cara ini, umat Israel senantiasa menyadari bahwa posisi mereka sebagai bangsa pilihan dan wajib menjalin relasi dengan Allah. Dalam ikatan relasi dengan Allah, umat Israel harus memenuhi tuntutan Allah yakni menjaga kekudusan seluruh bangsanya. Karena itu, penebusan anak sulung dipahami juga sebagai tanda kekudusan Israel. Tafsiran ketiga, anak sulung menjadi tebusan karena anak sulung sebagai pewaris atau ahli waris dalam tradisi Israel.  Dalam konteks ini, anak sulung ditebus kerena mereka menjadi penerus atau pewaris sejarah keselamatan Allah. Karya Allah yang membebaskan Israel, harus dikenang dan diwariskan kepada seluruh generasi Israel. “Hal itu harus menjadi tanda pada tanganmu dan menjadi lambang di dahimu, sebab dengan kekuatan tanganNya Tuhan membawa kita keuar dari Mesir” Kel 13,16.
            John F. Craghan menafsirkan makna penebusan anak sulung kedalam empat point[vi]; Pertama, penebusan bagi Israel berarti dijauhkan dari kekejaman Firaun sehingga memperoleh kebebasan. Karena dalam pemerintahan Firaun Israel dijadikan budak bagi bangsa Mesir. Kedua, penebusan berarti Israel memiliki tempat tinggal baru. Allah menuntun kembali bangsa Israel ke tanah nenek moyang mereka yakni tanah terjanji Kanaan. Mengingat bahwa lama perjalanan adalah empat puluh tahun, maka bisa dipastikan tidak semua bangsa Israel masuk tanah terjanji. Karena itu penebusan sebagai memperoleh tempat tinggal baru dapat diartikan menjadi dua bagian, yakni keluar dari Mesir kemudian berziarah dipadang gurun, disisi lain keluaran dari mesir dan masuk tanah terjanji. Ketiga, penebusan berarti Allah menyingkirkan mereka yang berlaku tidak adil terhadap Israel. Allah hadir sebagai seorang penyelamat bagi bangsa Israel. Keempat, penebusan berarti Allah mengidentifikasikan diri sebagai seorang anggota keluarga yang memperhatikan anggota keluarga lain. Seorang penebus adalah orang anggota keluarga yang bertanggungjawab atas keutuhan keluarganya.

IV. Refleksi Teologis
            Tradisi Gereja merefleksikan bahwa awal iman kristiani berasal dari tradisi Israel. Sejumlah tata aturan liturgi, Gereja, dan iman berpangkal dari tradisi Israel. Demikian pula Yesus yang nota bene adalah orang Yahudi menjadi pusat iman bagi orang kristiani. Isarel menjadi titik pangkal kelahiran Gereja dan iman kristiani. Karena itu saya mencoba merefleksikan hubungan antara konsep penebusan Israel dan konsep penebusan Yesus yang sebagai pusat iman Gereja.

a. Israel Anak Sulung Allah
            Peristiwa keluaran dari mesir merupakan peristiwa inti bagi iman Israel. Dari peristiwa ini Allah mendasarkan bangsa Israel sebagai bangsa pilihanNya. Berpangkal dari peristiwa ini, Israel mengidentifikasikan dirinya sebagai bangsa pilihan dari antara bangsa-bangsa lain. Pilihan Allah atas Israel sebagai bentuk keterlibatan Allah dalam seluruh ciptaanNya. Pilihan Allah yang bebas ini menjadikan Israel sebagai bangsa yang sulung dari bangsa-bangsa lain. Konsekuensi bagi Israel sebagai bangsa pilihan adalah mereka harus hidup sebagai bangsa yang beriman pada Allah dan meninggalkan seluruh tradisi lama yang tidak berkenan dihadapan Allah. Umat Israel merupakan semacam wakil seluruh manusia, jika Allah membebaskan Israel berarti Allah juga membebaskan semua umat manusia dari perbudakkan  dosa. Israel sebagai anak sulung harus terus merenungkan inti perjanjiannya dengan Allah yang telah membebaskan mereka, yakni Allah menjadi Allah satu-satunnya bangsa Israel dan orang Israel menjadi umat pilihanNya.

b. Yesus Anak Sulung Yang Ditebus
            Tradisi kristiani meyakini Yesus yang menderita dan wafat adalah sebagai tebusan atas dosa umat manusia. Pemahaman ini sangat kuat dalam tradisi Alkitabiah seperti nampak  dalam pengajaran rasul Paulus kepada jemaat di Roma, Efesus dan Kolose. Rasul Paulus secara tegas mengajarkan, bahwa di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya, Ef 1,7. Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose Paulus menekankan lagi aspek penebusan ini, “di dalam Dia kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa, Kol 1,14. Yesus dilihat sebagai orang yang menanggung seluruh dosa umat manusia, dan yang sulung sebagai penebus dosa serta kuasa dosa manusia. Aspek penebusan Yesus ini dapat disejajarkan dengan penebusan anak sulung Israel. Kesamaan dari kedua makna penebusan ini adalah sama-sama sebagai seorang penebus dosa. Perbedaannya hanya menyangkut keluasan dari tujuan penebusan ini. Penebusan anak sulung Israel hanya mencakup pada kelompok bangsa Israel, sedangkan penebusan Yesus mencakup seluruh umat manusia. Selain ini, penebusan Yesus memiliki tiga dimensi makna penebusan, yakni penebusan Yesus sebagai penanggung dosa manusia masa lalu, penebusan Yesus untuk memperbaharui hidup masa kini, dan sebagai prospek hidup masa depan.

V. Penutup
            Pengalaman keluaran sebagai peristiwa revolusi iman dan tradisi Israel, dimana peristiwa ini membawa mereka sebagai bangsa baru yang bebas dari penguasaan Mesir. Peristiwa ini juga sebagai pangkal kemerdekaan Israel sekalipun ditengah-tengah kesulitan dan perbudakkan-perbudakkan baru yang sewaktu-waktu menekan mereka. Peristiwa keluaran ini membawa serta kelahiran Israel sebagai umat yang percaya[vii] Percaya kepada Allah yang telah berkenan membebaskan, menyelamatkan, menguduskan dan membawa  mereka keluar dari tanah Mesir. Bangsa Israel mewujudkan ungkapan syukur mereka atas peristiwa ini dengan mengorbankan anak yang sulung, sekaligus untuk mengingat sejarah keselamatan ini sebagai karya Allah yang nyata dalam kehidupan bangsa Israel. Dari keseluruhan tafsiran Kel 13,1-16, kita dapat menggarisbawahi ketiga hal pokok yang menjadi dasar pembebasan Israel[viii]; Pertama, Allah sendirilah yang membebaskan umatNya. Umat Israel diikutsertakan dalam perbuatan dan tindakkan penyelamatanNya. Kedua, Allah membebaskan umatNya dari perbudakkan Mesir. Allah berkenan membebaskan umatNya dari berbagai bentuk perbudakkan termasuk perbudakkan dosa. Ketiga, Allah sungguh-sungguh membebaskan umatNya. Tindakkan Allah mencetuskan cita-cita kemerdekaan dan keadilan sosial ditengah-tengah umat Israel, cita-cita yang membuat umat Israel menjadi suluh diantara bangsa-bangsa lainnya. Ketiga hal ini yang menjadi acuan dan tujuan dari penebusan serta pengorbanan anak sulung dari bangsa Israel.





[i] D.F. Hinson, Sejarah Israel pada Zaman Alkitab, diterjemahkan dari  Historiy Of Israel,Oleh M.Th. Mawene, PT BPK Gunung Mulia, Jakartas 1996, 56.
[ii] D.F. Hinson, Sejarah Israel pada Zaman Alkitab, 66.
[iii] D. F G. Barth, Theologia Perjanjian Lama, 134.
[iv] Hinson, Sejarah Israel pada Zaman Alkitab, 57.
[v] Indra Sanjaya, Kitab Taurat, Diktat Kuliah Fakultas Teologi Wedabhakti, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2001, 124.
[vi] J.F. Craghan,”Keluaran”, Dalam D.Bergant – R.J. Karris (eds), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, diterjemahkan dari The Collegeville Bible Commentary, Oleh A.S Hadiwiyata, Kanisius, Yogyakarta 2002, 95.
[vii] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama, 142.
[viii] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama, 147.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar