Senin, 28 Mei 2012

Sekedar Info





DEVIASI SEKSUAL MANUSIA DAN TANGGAPAN GEREJA




1. Pengantar
            Secara garis besar terdapat dua jenis abnormalitas dalam fungsi, bentuk dan respon seksual yang ada dalam diri manusia, yakni deviasi seksual dan disfungsi seksual. Deviasi seksual adalah perilaku seksual yang berbeda dari standar yang ditentukan oleh suatu masyarakat tertentu[1]. Defenisi ini merupakan karakterseksual pervetion dan hanya dalam sexual pervetion ada unsur pelarangan secara khusus oleh hukum disemua negara. Deviasi seksual kerap dikaitkan dengan parafilia[2] yang berarti dorongan dan fantasi seksual yang berulang, intens, atipikal. Parafilia secara umum dibagi dalam dua bentuk yakni parafilia dengan koersif dan non koersif. Parafilia koersif terjadi karena ada unsur pemaksaan, seperti pemerkosaan, pedofilia, atau incest. Sedangkan parafilia non koersif terjadi bukan karena pemaksaan, seperti hubungan di antara sesama lesbi atau homo.
            Ada beberapa perilaku parafilia yang sebenarnya kerap digunakan oleh pasangan-pasangan yang ingin menambah bumbu kehidupan seksual mereka, tentu saja dalam takaran ringan. Contohnya: menampar bokong pasangan, diikat dengan longgar ketika berhubungan seksual, dan sebagainya. Nah, kalau perilaku yang tadinya dimaksudkan untuk variasi itu sudah menjadi menu wajib tak tergantikan yang senantiasa menghantui, itu sudah melangkah menuju parafilia.
            Disfungsi seksual berbeda dengan deviasi seksual. Disfungsi seksual lebih pada perihal kesulitan dalam melakukan aktifitas seksual yang normal. Disfungsi seksual ini tewujud dalam beberapa bentuk, seperti gangguang orgasme yakni ejakulasi dini, atau juga dyspareunia yakni rasa sakit pada alat genital baik selama dan sesudah senggama, juga vaginismus yakni kejang otot vagina.  Dalam paper ini, kami hanya mengfokuskan pada persoalan deviasi seksual.


2. Jenis-jenis Deviasi Seksual
Ada beberapa jenis deviasi seksual yang terdapat dalam diri manusia.
A). Homoseksual
Homoseksualitas berasal dari kata Yunani; homoios artinya sama dan sexus (Latin) yang berarti jenis kelamin. Homoseksual menurut medical Association di Inggris adalah preparation erotic attraction to a member of the same sex, which usually but not inability in values some physical expression of this attraction. Homoseksual juga merupakan suatu daya tarik fisik atau erotis terhadap seseorang yang sama jenis kelaminnya dan di dalam daya tarik erotis ini pada umumnya dituntut ekspresi fisik[3]. Karena itu seorang yang homoseks akan terarik dan jatuh cinta kepada orang yang berjenis kelamin sama[4].    
            Katekismus Gereja Katolik mendefinisikan homoseksualitas sebagai hubungan antara para pria dan wanita yang merasa diri tertarik dalam hubungan seksual semata-mata atau terutama kepada orang yang sejenis kelamin, (KGK 2357). Homoseksualiatas muncul dalam berbagai kebudayaan. Homoseksual sudah dikenal sejak tahun 600 SM. Adalah Sappho, seorang penyair Yunani yang bersifat lesbi dan sering mengadakan hubungan seksual dengan gadis-gadis. Karena itu homoseksual kadang disebut juga sebagai sapphisme, diambil dari nama Sappho. Homoseksual juga muncul dalam kisah-kisah biblis, seperti penyelewengan besar yang terjadi pada peristiwa Sodom dan Gemora, (bdk. Kej. 19:1-19), pewartaan Paulus kepada jemaat di Roma, (bdk, Rom. 124-27), pewartaan Paulus kepada jemaat di Korintus, (1 Kor 6:10) dan 1 Tim 1:10. Tradisi Gereja juga menjelaskan bahwa perbuatan homoseksual adalah tidak baik, (Persona Humane, 8). Karena Gereja melihat perbuatan ini melawan hukum kodrat, karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi waktu persetubuhan[5]. Di sisi lain perbuatan itu tidak berasal dari satu kebutuhan untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual.

Menurut sifatnya, homoseksual dibagi ke dalam dua kelompok yakni yang bersifat sementara dan yang terus-menerus[6].
  1. Bersifat Sementara.
Pada hakikatnya tindakan homophilia yang bersifat sementara dilakukan oleh orang yang heteroseksual sebagai akibat pengaruh faktor-faktor luar. Misalnya; homophilia pertumbuhan. Di masa pubertas timbul dorongan seksual yang kuat. Anak mulai meninggalkan orang tuanya dan mengarahkan perhatian seksualnya pada orang lain. Sifat ini hanya singkat saja dan hanya terjadi pada masa perkembangan anak. Selain itu ada juga homophilia darurat, yakni timbul karena tidak ada kesempatan hubungan heteroseksual. Misalnya terjadi di penjara atau asrama sejenis. Gejala ini akan berhenti bila ada kesempatan hubungan heteroseksual.
  1. Bersifat tetus-menerus.
            Hal ini terjadi sejak lahir dan mempunyai kencenderungan untuk mengadakan persatuan hidup dengan orang yang berjenis kelamin sama dalam bidang seks dan dalam keseluruhan hidupnya.
Ada tiga teori yang mencoba mengetengahkan sebab terjadinya homoseksual[7];
a). Teori pertama mendasarkan diri pada sebab-sebab biologis. Menurut teori ini homoseks disebabkan oleh beberapa hal, yakni; kekurangan hormon androgen (laki-laki), estrogen (wanita) juga karena keturunan.
b). Teori kedua, mendasarkan diri pada sebab-sebab psikologis. Menurut Freud, semua orang dilahirkan sebagai manusia biseksual. Namun karena situasi dan pengalaman masa kanak-kanak atau masa pendidikannya, orang bisa berubah menjadi homoseksual.
c). Teori ketiga mendasarkan dirinya pada sebab biologis dan psikologis diatas.
B). Paedofilia
            Berasal dari kata paido yang berarti anak dan philein yang berarti mencintai. Dalam penyimpangan ini orang dewasa merasakan kepuasan seksual dengan mengadakan persetubuhan dengan anak-anak.  Penyebab dari pedofilia belum diketahui secara pasti. Namun pedofilia seringkali menandakan ketidakmampuan berhubungan dengan sesama dewasa atau adanya ketakutan wanita untuk menjalin hubungan dengan sesama dewasa. Jadi bisa dikatakan sebagai suatu kompensasi dari penyaluran nafsu seksual yang tidak dapat disalurkan pada orang dewasa.
Aktivitas seks yang dilakukan oleh penderita pedofilia sangat bervariasi. Aktifitas tersebut meliputi tindakan menelanjangi anak, memamerkan tubuh mereka pada anak, melakukan masturbasi dengan anak, dan bersenggama dengan anak. Jenis aktivitas seksual lain yang dilakukan juga bervariasi tingkatannya, termasuk stimulasi oral pada anak, penetrasi pada mulut anak, vagina ataupun anus dengan jari, benda asing, atau alat kelamin laki-laki. Akibat dari tindakan ini bagi korban adalah trauma.

C). Transeksualitas
            Transeksualitas adalah orang yang merasa tidak puas dengan jenis kelaminnya sendiri. Transeksualitas ini harus kita bedakan dari interseksualitas, yaitu seorang yang secara genetis wanita tetapi alat kelamin bagian luarnya bercorak kelaki-lakian, atau seseorang yang secara genetis pria namun memiliki ciri kelelakiannya kurang sempurna akibat buah pelir berfungsi tidak baik.

D). Transvestisme
            Transvestisme adalah jenis gangguan perkembangan psikoseksual yang membuat anak laki-laki memiliki kecenderungan untuk senang memakai pakaian perempuan, untuk kemudian saat berpakaian perempuan tindakan dan perilakunya meniru tindakan dan perilaku perempuan, dan biasanya pada saat yang sama anak tersebut memperoleh kenikmatan erotik-seksual. Perolehan figur identifikasi dan tokoh idola dari tayangan yang secara intens ditonton bisa saja menjadi salah satu penyebab berkembangnya perilaku transvestisme tersebut. Penyebab perkembangan transvestisme lain adalah keinginan ibu yang kuat untuk memiliki anak perempuan karena beberapa anak terdahulu berjenis kelamin laki-laki. Keinginan yang kuat itu membuat anak tertentu, biasanya anak bungsu, diperlakukan dan diasuh sebagai anak perempuan, antara lain dipakaikan rok, dipanjangkan rambutnya, dan didandani sebagai anak perempuan. Biasanya anak bungsu itu pun mewarisi karakteristik fisik ibu yang cantik, imut-imut, dan lembut. Ekses spesifik lain dari pola asuh anak perempuan membuat anak lebih dekat dengan ibu dan mendapat kesempatan lebih banyak mengambil alih karakteristik keperempuanan dari kepribadian ibu. Dengan demikian, kenyamanan anak laki-laki tersebut berperilaku keperempuanan akan lebih besar daripada berperilaku kelelakian. Sebagai penyertaan lanjut dari kondisi tersebut adalah berkembangnya minat erotik-seksual anak kemudian hari justru tertuju pada laki-laki (sejenis) daripada terhadap perempuan (lain jenis). Dan perlu disimak perkembangan lanjut dari keadaan transvestisme akan mengarah pada perkembangan ke arah kepribadian homoseksual.

E). Fetishisme
            Fetishisme merupakan pemujaan yang ditunjukan pada benda-benda mati atau bagian tubuh idolanya, sampai mendapatkan kepuasan seksual. Pada penderita fetishisme, aktivitas seksualnya disalurkan melalui bermasturbasi dengan BH (breast holder), celana dalam, kaos kaki, sarung tangan, alat-alat kecantikan, atau benda lain yang dapat meningkatkan hasrat atau dorongan fetishis. Sehingga, orang tersebut mengalami ejakulasi dan mendapatkan kepuasan. Namun, ada juga penderita yang meminta pasangannya untuk mengenakan benda-benda favoritnya, kemudian melakukan hubungan seksual yang sebenarnya dengan pasangannya tersebut. Penyimpangan semacam ini kebanyakan terjadi pada perempuan.

F).Incest
            Incest merupakan hubungan seksual dengan pasangan yang masih mempunyai pertalian darah. Penyebabnya adalah rasa takut dan ingin mendapatkan perhatian kasih sayang dari orang tua atau kakaknya. Biasanya faktor lingkunganlah yang mempengaruhi kelainan ini, yaitu karena adanya rasa cinta yang mendalam sebagai anggota keluarga. Selain itu, incest bisa juga terjadi karena pemaksaan. Misalnya seorang ayah memaksa anak kandungnya untuk berhubungan seksual.

G). Voyeurism
            Voyeurism adalah kelainan seksual yang pada penderitanya memperoleh kepuasan seksual dengan cara mengintip (peeping) atau melihat orang lain yang sedang telanjang, mandi, atau bahkan berhubungan seksual. Voyeurism ini kebanyakan terjadi pada laki-laki, meskipun terjadi juga pada perempuan. Voyeurism umumnya terjadi pada kaum muda dan single. Voyeurism bisa berujung pada masturbasi untuk memuaskan nafsu seksual.

H).Gerontofilia
            Gerontofilia adalah suatu perilaku penyimpangan seksual dimana sang pelaku tertarik dan mencari kepuasan kepada orang yang sudah berusia lanjut alias nenek-nenek atau kakek-kakek.
I). Bestialiatas
Bestialiatas atau zoophilia adalah hubungan seksual antara manusia dengan binatang. Misalnya; manusia dengan kuda, anjing, sapi, kambing, ayam, bebek, kucing, babi, simpanse. Jika bestialitas adalah sebutan untuk aktivitas seksualnya, maka kecenderungan atau ketertarikan seksual manusia terhadap binatang disebut zoofilia.
J).Nekrofilia
Nekrofilia adalah penyimpangan seksual dimana pelakunya melakukan hubungan seksual dengan orang yang sudah mati atau mayat.  Dalam bahasa Yunani, nekro berarti mayat. Kelainan ini disebut juga thanatofilia atau necrolagnia. Beberapa kebudayaan kuno melakukan hubungan ini sebagai media berkomunikasi dengan jin. Ada bebrapa contoh kasus yang pernah terjadi. Misalnya, Sersan Bertrand dari resimen ke-74 militer Prancis pernah membongkar kuburan beberapa wanita dan berhubungan seks dengan mayat wanita itu. Guido Henckel von Donnersmarck (mati 1916 ) juga diduga melakukannya dengan mayat istri pertamanya yang ia simpan dalam tangki alkohol raksasa. Ada juga orang bernama Henri Blot yang membongkar kuburan seorang penari balet, Fernande Mery, pada Maret dan Juni 1886 dan berhubungan seks dengan mayat itu.
K).Frotteurisme
            Frotteurisme merupakan kelainan seksual dimana pelakunya mendapatkan kepuasan seks dengan jalan menggesek-gesekkan bagian tubuhnya ke orang lain di tempat umum seperti kereta, pesawat, bis, atau konser musik. Aksi gesek-menggesek ini biasanya dilakukan dengan tangan atau juga dengan alat kelamin yang dikenakan pada sembarang tubuh korban, termasuk pada area kelamin korban. Mayoritas pelakunya adalah laki-laki dan kebanyakan korbannya adalah perempuan, walau ada juga perempuan yang melakukannya kepada laki-laki atau laki-laki kepada sesamanya.
L). Exhibisionism
            Exhibisionism merupakan kepuasan seksual didapat dengan cara memperlihatkan penis secara sengaja kepada perempuan atau anak kecil yang sesuai dengan keinginannya. Ini terjadi karena ketidakmatangan dalam pengenalan akan lawan jenis dan sulit dalam relasi antarpribadi. Tahapan awal munculnya kelainan ini adalah adanya perasaan cemas, gelisah, tegang yang berkepanjangan. Setelah penderita memperlihatkan penisnya, penderita merasa lebih tenang dan lega. Umumnya terjadi pada laki-laki. Lebih dari setengah dari semua pelaku exhibilitionist adalah menikah, tapi hubungan seks mereka dengan istri-istri mereka tidak memuaskan.

3. Ajaran Gereja Katolik Tentang Seksualitas



Sebelum masuk pada diskusi tanggapan Gereja terhadap permasalahan deviasi seksual terlebih dahulu kita pahami maksud dan pemahaman Gereja mengenai seksualitas itu sendiri. Pada umumnya para pemimpin Gereja memahami seksualitas berdasarkan apa yang dikatakan dalam Kitab Kejadian. Disana dikatakan bahwa “Allah menciptakan manusia seturut gambarNya, laki-laki dan perempuan diciptakan mereka”. Kemudian Allah memberkati mereka dan berfirman “Beranakcuculah dan bertambah banyak”, (Kej 1:27-28).
Pandangan dalam Perjanjian Lama ini kemudian disempurnakan dalam Perjanjian Baru. Yesus tampil sebagai tokoh yang memperbaharui pandangan ini seperti yang dikatakannya, “Pada awal dunia, Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan; sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Sehingga mereka bukan lagi dua, melainkan satu”, (Mark 10: 6-8).
Dari kedua teks diatas, para pimpinan Gereja Katolik kemudian mengajarkan bahwa[8];
a.       Pria dan wanita itu diciptakan dan diberkati Allah sendiri
b.      Pria dan wanita itu bersama-sama merupakan citra Allah
c.       Pria dan wanita itu memiliki martabat yang sama, yang berbeda adalah perannya
d.      Pria dan wanita diperintah oleh Allah untuk bersatu dan beranakcucu
e.       Hubungan seks hanya layak dilakukan oleh suami dan isteri yang bersedia bersatu sepenuh-penuhnya dan bersedia pula menurunkan anak.
Dari sini kita dapat melihat bahwa Gereja Katolik sangat menjunjungtinggi nilai seksualitas manusia. Seksualitas manusia diberlakukan seturut ajaran Kitab Suci.

4. Tanggapan Gereja Dari Segi Moral Seksualitas
            Diatas sudah dijelaskan permasalahan deviasi seksual dan ajaran resmi Gereja mengenai seksualitas. Tentu kita bisa melihat bahwa ajaran resmi Gereja ini tidak sesuai dengan realitas yang ada, dimana banyak terjadi kasus diviasi seksual. Meskipun diviasi ini tidak nampak dalam ajaran Gereja atau terkesan bertentangan dengan ajaran resmi Gereja, namun Gereja memiliki pandangan tersendiri mengenai beberapa kasus deviasi seksual. Perlu diakui bahwa pihak Gereja hanya memberikan tanggapan terhadap beberapa kasus deviasi saja. Beberapa diantaranya yakni;

A). Tanggapan Gereja tentang Homoseksualitas
Gereja menanggapai beberapa persoalan di atas dengan tetap mengacu pada tradisi dan magisterium.
a). Argumen pertama berdasarkan tradisi yang menolak homoseks. Hal ini bertolak dari pemikiran pokok Gereja, yakni soal contra naturam yakni melawan kodrat. Tindakan homoseks bertentangan dengan hukum kodrat, kerena bukan tindakan yang mengarah pada keturunan. Argumen ini mengikuti pemikiran Agustinus (354-430). Menurut Agustinus, hubungan seksual harus sesuai dengan tujuan dari perkawinan yakni keturunan. Hubungan seksual yang tidak mempunyai tujuan ini menurut Agustinus adalah perbuatan dosa[9].
b). Argumen kedua berdasarkan Magisterium juga menolak terhadap homoseks. Pertama; Persona Humane, No. 8, yang menganggap larangan hubungan homoseks sebagai ajaran tetap (doctrina constans) Gereja dengan menunjuk pada teks biblis dan juga alasan ketiadaan prokreasi. Kedua; Katekismus Gereja Katolik, No.2357-2358. Disana dikatakan “seorang homoseksual dipanggil untuk hidup murni. Melalui kebajikan pengendalian diri, yang mendidik menuju kemerdekaan batin, mereka dapat dan harus mungkin juga dengan bantuan persahabatan tanpa pamrih, mendekatkan diri melalui doa dan rahmat sakramental setapak demi setapak tetapi pasti menuju kesempurnaan Kristus, (No.2359).
c). DS 2044, homophilia ditolak bersama mollities (masturbasi) dan bestialitas sebagai dosa sejenis.
            Di sisi lain penting dipahami juga bahwa terdapat dua macam hal yang berbeda yaitu, 1), kecenderungan homoseksual dan 2), menjadi pelaku homoseksual. Kecenderungan ketertarikan terhadap sesama jenis itu belum membuahkan dosa sebelum dinyatakan dalam aktivitas seksual homoseksual. Gereja Katolik menganggap kecenderungan ini sebagai “objective disorder“ ketidakteraturan yang obyektif, karena menjurus kepada hubungan seksual yang tidak wajar. Kecenderungan homoseksual di sini menyerupai kecenderungan yang dimiliki untuk kebiasaan buruk lainnya, misalnya ada orang yang memiliki kecenderungan pemarah, pemabuk, pemalas, dst. Kecenderungan ini baru akan berbuah menjadi dosa, jika terus dituruti keinginannya. Dalam hal ini, jika mereka yang gay terus bergaul dalam lingkungan gay dan mempraktekkan kehidupan seksual gaya gay, demikian juga yang lesbi. Namun, jika tidak, maka kecenderungan tersebut tidak berbuah dosa.

B). Tanggapan Gereja tentang Onani
Gagasan mengenai onani atau masturbasi terungkap dalam kitab Kejadian. Pandangan ini ditemukan dalam kisah tentang seseorang yang bernama Onan. Disana dikatakan bahwa, “Setiap kali menghampiri isteri kakaknya itu, ia (Onan) membiarkan maninya terbuang, supaya ia tidak membuahkan keturunan demi kakaknya. Tetapi yang dilakukan itu jahat dimata Tuhan, maka Tuhan membunuhnya”, (Kej 38:4-10). Berdasarkan pandangan ini, pimpinan Gereja Katolik kemudian mengajarkan bahwa[10];
a)      Pada dasarnya, membuang sperma di luar hubungan seks suami-istri merupakan suatu tindakan yang tidak layak
b)      Maka pada dasarnya onani tidaklah layak dilakukan
c)      Meskipun demikian, onani yang terjadi tanpa disengaja, misalnya karena adanya problem-problem psikis, tidaklah selalu merupakan suatu perbuatan yang secara moral jahat.
Karena itu, pimpinan Gereja Katolik tetap menolak tindakan onani dan melihat hal itu bukan perbuatan yang baik.

C). Tanggapan Gereja mengenai Kemurnian
Para pemimpin Gereja mendasari pandangan kemurnian ini bertolak dari “Kesepuluh Firman Allah” yang antara lain berbunyi “ Jangan berzinah dan jangan mengingini isteri orang lain”, ( Kel 20, 14.17).  Padangan ini kemudian diteruskan oleh Yesus dalam kotbahnya di bukit. Disana Ia menyerukan untuk menjauhkan diri dari sikap perzinahan, (Mat 5, 27-28). Santo Paulus juga dalam karya pewartaannya menganjurkan kepada pendengarnya untuk menjauhkan diri dari bahaya percabulan.
Berdasarkan beberapa pandangan diatas, pimpinan Gereja kemudian mengajarkan bahwa[11];
a)      Orang tidak layak berbuat cabul, dengan siapa pun juga
b)      Orang bahkan diharapkan menghindari keinginan untuk berbuat cabul dan menghindari pornografi serta kesempatan-kesempatan yang menggoda.

4. Langkah-Langkah Pastoral Dan Pendampingan
            Gereja  menyadari bahwa tidak sedikit pria dan wanita yang sedemikian mempunyai kecenderungan homoseksual yang tidak mereka pilih sendiri. Karena itu perlu dianjurkan untuk pendampingan pastoral kepada mereka. Beberapa lankah pastoralnya yakni;
a). Menghilangkan diskirimisi terhadap kelompok homoskes. Hal ini berangkat dari situasi masyarakat sekarang yang menolak dan tidak mengakui kehadiran mereka di tengah masyarakat. Akibatnya mereka merasa takut, cemas, minder, rasa tidak diterima, ataupun dicurigai. Karena itu, Gereja berusaha memahami situasi orang homoseks dan menerima mereka secara terbuka dalam relasi sosial.
b). Berdialog dengan orang-orang homoseks serta membagi pengalaman bersama mereka. Dari sini Gereja dapat mencari solusi bagi mereka.
c). Memberikan pendampingan rohani, serta menjelaskan kepada mereka makna perintah cinta kasih dalam Gereja dalam upaya menghayati nilai seksualitas manusia[12].
d).Memberikan pendampingan medis terkait dengan efek-efek negatif yang mungkin ditimbulkan dari penyimpangan-pentimpangan seksual.
e). Sedapat mungkin Gereja mewadahi (penggerak) dalam memberikan pendampingan psikologis. Dalam hal ini, Gereja bisa bekerjasama dengan lembaga-lembaga sosial yang berkarya pada bidang kemanusiaan.

5. Penutup
             Seksualitas merupakan keseluruhan cara berada manusia. Oleh karena itu, seksualitas selalu berkaitan dengan seluruh perilaku manusia sebagai makhluk biologis. Jelas bagi kita, bahwa seksualitas manusia sangat menentukan diri manusia sebagai pribadi dan sebagai makhluk sosial. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa tidak sedikit terjadi deviasi seksulitas dalam kehidupan kita. Faktor-faktor terjadinya deviasi seksualitas telah dijelaskan di atas sesuai dengan jenis-jenis deviasi seksualitas.
            Bertolak dari deviasi seksualitas inilah, Gereja merasa diri berkepentingan untuk menanggapi segala persoalan tersebut. Walaupun dalam tubuh pemimpin Gereja sendiri, ada saja penyimpangan seksualitas. Namun Gereja sebagai wakil Kristus yang berpihak kepada orang lemah dan tak berdaya, tetap berseru dan memperjuangkan nasib mereka, walaupun Gereja juga harus berani mengadili sesama anggotanya sendiri.
            Oleh karena itu,  Gereja juga harus secara khusus memeprhatikan dirinya sendiri. Gereja harus menjadi teladan kebaikan dan pemerhati deviasi seksualitas. Gereja perlu memperhatikan dengan baik mengenai proses pendidikan para calon pemimpinnya. Gereja mengakui bahwa psikologi dapat memberi masukan yang berharga dalam pembinaan para calon imam dan biarawan-biarawati, demi mengembangkan dalam diri mereka kepribadian yang seimbang. Bantuan yang ditawarkan oleh ilmu psikologi harus dipadukan di dalam konteks yang menyeluruh dari pembentukan calon. Bantuan itu tidak boleh menghambat, tetapi justru harus menjamin nilai-nilai yang tak tergantikan dari bimbingan rohani. Bimbingan rohani dan psikologi harus berjalan bersamaan. Keduanya tidak boleh dipisahkan atau saling meniadakan. Kedunya harus saling melengkapi.
Seperti kata pepatah “lebih baik mencegah, daripada mengobati” mungkin penting untuk kita dalam mencermati masalah seksualitas. Sungguhpun telah terjadi deviasi di luar kontrol, hal itu pun harus menjadi perhatian kita semua. Tugas kita adalah peka dan tanggap terhadap segala penyimpangan tersebut dan bangkit untuk berbuat sesuatu guna membantu mereka yang terjerat dalam masalah seperti ini.
          

Daftar Pustaka
Buku
Abineno, J.L,.
            1980 Seksualitas Dan Pendidikan Seksuil, Bpk Gunung Mulia, Jakarta.
Hartani,  Inge M.C.
            2007 Pendidikan Anak Di Rumah Di Bidang Seksualitas, Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang, Semarang.
Konseng, A.,
            1995 Menyingkap Seksualitas, Obor, Jakarta.
Maas, K.,
            1998 Teologi Moral Seksualitas, Nusa Indah, Ende.
Tukan, S. J.,
1993 Metode Pendidikan Seks, Perkawinan dan Keluarga, Erlangga, Jakarta.

Artikel
Marx,D. I dan Theol, D.,
            2008 “Etika Kristen Dan Respon Terhadap Permasalahan Seksualitas Masa Kini: Bimbingan Praktis” dalam STULOS Jurnal Teologi STT Bandung, Vol.7, No.2.




[2] Secara harafiah diartikan sebagai di luar cinta yang lazim atau di luar kebiasaan yang diterima oleh masyarakat umum.
[3] ----“Perspektif Etika Kristen Atas Masalah Seksualitas Di Masyarakat” dalam  Jurnal Teologi Stulos, Sep.2008, 136-137.
[4] K. Maas, Teologi Moral Seksualitas, Nusa Indah, Ende, 1998, 138.
[5] Hal ini tidak sesuai dengan ajaran Gereja mengenai tujuan dari perkawinan, bdk.
[6] K. Maas, Teologi Moral Seksualitas, 139.
[7] K. Maas, Teologi Moral Seksualitas, 140-141.

[8] M.C. Inge Hartani, dkk., Pendidikan Anak Di Rumah Di Bidang Seksualitas, Komisi Pendampingan Anak Keuskupan Agung Semarang, 2007, 19-20.
[9] J.L. Ch. Abineno, Seksualitas Dan Pendidikan Seksuil, Bpk Gunung Mulia, Jakarta, 1980, 18.
[10] M.C. Inge Hartani, dkk., Pendidikan Anak Di Rumah Di Bidang Seksualitas,  21.

[11] M.C. Inge Hartani, dkk., Pendidikan Anak Di Rumah Di Bidang Seksualitas,  20 - 21.


[12] K. Maas, Teologi Moral Seksualitas, 147-148.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar