Kamis, 31 Mei 2012

Nasehat Mama




Nasehat Mama

Dengarlah sayang
Buah hati tercinta
Nasehat Mama di ujung senja
Sayang, buah hati tercinta
Dengarlah nasehat Mama
Nasehat usang yang tak pernah lekang oleh masa
Dan tak kan berakhir hingga matahari tak terbit lagi
Sayang, dengarkanlah……………….
Raihlah  impianmu selagi masa mudamu
Ibuku adalah pahlawanku
Janganlah pernah biarkan dia berlalu
Dan kejarlah citamu selagi dia ada dihadapanmu
Sebelum dia hilang di telan waktu
Sayang, buah hati tercinta
Janganlah lupakan untuk menegakan kebenaran
Dan jauhkan persekongkolan
Utamakan kejujuran daripada tipu muslihat
Perjuangkan keadilan dan hindarlah kemunafikan
Jauhkan kedengkian dan dekatlah pada kesabaran
Janganlah mabuk-mabukan dan jangan pula berpesta-pesta pora
Sayang, buah hati tercinta
Ingatlah nasehat Mama


disaat kurindu Mamaqu, 
Jogya 31 Mei 2012

Senin, 28 Mei 2012

Sekedar Info





DEVIASI SEKSUAL MANUSIA DAN TANGGAPAN GEREJA




1. Pengantar
            Secara garis besar terdapat dua jenis abnormalitas dalam fungsi, bentuk dan respon seksual yang ada dalam diri manusia, yakni deviasi seksual dan disfungsi seksual. Deviasi seksual adalah perilaku seksual yang berbeda dari standar yang ditentukan oleh suatu masyarakat tertentu[1]. Defenisi ini merupakan karakterseksual pervetion dan hanya dalam sexual pervetion ada unsur pelarangan secara khusus oleh hukum disemua negara. Deviasi seksual kerap dikaitkan dengan parafilia[2] yang berarti dorongan dan fantasi seksual yang berulang, intens, atipikal. Parafilia secara umum dibagi dalam dua bentuk yakni parafilia dengan koersif dan non koersif. Parafilia koersif terjadi karena ada unsur pemaksaan, seperti pemerkosaan, pedofilia, atau incest. Sedangkan parafilia non koersif terjadi bukan karena pemaksaan, seperti hubungan di antara sesama lesbi atau homo.
            Ada beberapa perilaku parafilia yang sebenarnya kerap digunakan oleh pasangan-pasangan yang ingin menambah bumbu kehidupan seksual mereka, tentu saja dalam takaran ringan. Contohnya: menampar bokong pasangan, diikat dengan longgar ketika berhubungan seksual, dan sebagainya. Nah, kalau perilaku yang tadinya dimaksudkan untuk variasi itu sudah menjadi menu wajib tak tergantikan yang senantiasa menghantui, itu sudah melangkah menuju parafilia.
            Disfungsi seksual berbeda dengan deviasi seksual. Disfungsi seksual lebih pada perihal kesulitan dalam melakukan aktifitas seksual yang normal. Disfungsi seksual ini tewujud dalam beberapa bentuk, seperti gangguang orgasme yakni ejakulasi dini, atau juga dyspareunia yakni rasa sakit pada alat genital baik selama dan sesudah senggama, juga vaginismus yakni kejang otot vagina.  Dalam paper ini, kami hanya mengfokuskan pada persoalan deviasi seksual.


2. Jenis-jenis Deviasi Seksual
Ada beberapa jenis deviasi seksual yang terdapat dalam diri manusia.
A). Homoseksual
Homoseksualitas berasal dari kata Yunani; homoios artinya sama dan sexus (Latin) yang berarti jenis kelamin. Homoseksual menurut medical Association di Inggris adalah preparation erotic attraction to a member of the same sex, which usually but not inability in values some physical expression of this attraction. Homoseksual juga merupakan suatu daya tarik fisik atau erotis terhadap seseorang yang sama jenis kelaminnya dan di dalam daya tarik erotis ini pada umumnya dituntut ekspresi fisik[3]. Karena itu seorang yang homoseks akan terarik dan jatuh cinta kepada orang yang berjenis kelamin sama[4].    
            Katekismus Gereja Katolik mendefinisikan homoseksualitas sebagai hubungan antara para pria dan wanita yang merasa diri tertarik dalam hubungan seksual semata-mata atau terutama kepada orang yang sejenis kelamin, (KGK 2357). Homoseksualiatas muncul dalam berbagai kebudayaan. Homoseksual sudah dikenal sejak tahun 600 SM. Adalah Sappho, seorang penyair Yunani yang bersifat lesbi dan sering mengadakan hubungan seksual dengan gadis-gadis. Karena itu homoseksual kadang disebut juga sebagai sapphisme, diambil dari nama Sappho. Homoseksual juga muncul dalam kisah-kisah biblis, seperti penyelewengan besar yang terjadi pada peristiwa Sodom dan Gemora, (bdk. Kej. 19:1-19), pewartaan Paulus kepada jemaat di Roma, (bdk, Rom. 124-27), pewartaan Paulus kepada jemaat di Korintus, (1 Kor 6:10) dan 1 Tim 1:10. Tradisi Gereja juga menjelaskan bahwa perbuatan homoseksual adalah tidak baik, (Persona Humane, 8). Karena Gereja melihat perbuatan ini melawan hukum kodrat, karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi waktu persetubuhan[5]. Di sisi lain perbuatan itu tidak berasal dari satu kebutuhan untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual.

Menurut sifatnya, homoseksual dibagi ke dalam dua kelompok yakni yang bersifat sementara dan yang terus-menerus[6].
  1. Bersifat Sementara.
Pada hakikatnya tindakan homophilia yang bersifat sementara dilakukan oleh orang yang heteroseksual sebagai akibat pengaruh faktor-faktor luar. Misalnya; homophilia pertumbuhan. Di masa pubertas timbul dorongan seksual yang kuat. Anak mulai meninggalkan orang tuanya dan mengarahkan perhatian seksualnya pada orang lain. Sifat ini hanya singkat saja dan hanya terjadi pada masa perkembangan anak. Selain itu ada juga homophilia darurat, yakni timbul karena tidak ada kesempatan hubungan heteroseksual. Misalnya terjadi di penjara atau asrama sejenis. Gejala ini akan berhenti bila ada kesempatan hubungan heteroseksual.
  1. Bersifat tetus-menerus.
            Hal ini terjadi sejak lahir dan mempunyai kencenderungan untuk mengadakan persatuan hidup dengan orang yang berjenis kelamin sama dalam bidang seks dan dalam keseluruhan hidupnya.
Ada tiga teori yang mencoba mengetengahkan sebab terjadinya homoseksual[7];
a). Teori pertama mendasarkan diri pada sebab-sebab biologis. Menurut teori ini homoseks disebabkan oleh beberapa hal, yakni; kekurangan hormon androgen (laki-laki), estrogen (wanita) juga karena keturunan.
b). Teori kedua, mendasarkan diri pada sebab-sebab psikologis. Menurut Freud, semua orang dilahirkan sebagai manusia biseksual. Namun karena situasi dan pengalaman masa kanak-kanak atau masa pendidikannya, orang bisa berubah menjadi homoseksual.
c). Teori ketiga mendasarkan dirinya pada sebab biologis dan psikologis diatas.
B). Paedofilia
            Berasal dari kata paido yang berarti anak dan philein yang berarti mencintai. Dalam penyimpangan ini orang dewasa merasakan kepuasan seksual dengan mengadakan persetubuhan dengan anak-anak.  Penyebab dari pedofilia belum diketahui secara pasti. Namun pedofilia seringkali menandakan ketidakmampuan berhubungan dengan sesama dewasa atau adanya ketakutan wanita untuk menjalin hubungan dengan sesama dewasa. Jadi bisa dikatakan sebagai suatu kompensasi dari penyaluran nafsu seksual yang tidak dapat disalurkan pada orang dewasa.
Aktivitas seks yang dilakukan oleh penderita pedofilia sangat bervariasi. Aktifitas tersebut meliputi tindakan menelanjangi anak, memamerkan tubuh mereka pada anak, melakukan masturbasi dengan anak, dan bersenggama dengan anak. Jenis aktivitas seksual lain yang dilakukan juga bervariasi tingkatannya, termasuk stimulasi oral pada anak, penetrasi pada mulut anak, vagina ataupun anus dengan jari, benda asing, atau alat kelamin laki-laki. Akibat dari tindakan ini bagi korban adalah trauma.

C). Transeksualitas
            Transeksualitas adalah orang yang merasa tidak puas dengan jenis kelaminnya sendiri. Transeksualitas ini harus kita bedakan dari interseksualitas, yaitu seorang yang secara genetis wanita tetapi alat kelamin bagian luarnya bercorak kelaki-lakian, atau seseorang yang secara genetis pria namun memiliki ciri kelelakiannya kurang sempurna akibat buah pelir berfungsi tidak baik.

D). Transvestisme
            Transvestisme adalah jenis gangguan perkembangan psikoseksual yang membuat anak laki-laki memiliki kecenderungan untuk senang memakai pakaian perempuan, untuk kemudian saat berpakaian perempuan tindakan dan perilakunya meniru tindakan dan perilaku perempuan, dan biasanya pada saat yang sama anak tersebut memperoleh kenikmatan erotik-seksual. Perolehan figur identifikasi dan tokoh idola dari tayangan yang secara intens ditonton bisa saja menjadi salah satu penyebab berkembangnya perilaku transvestisme tersebut. Penyebab perkembangan transvestisme lain adalah keinginan ibu yang kuat untuk memiliki anak perempuan karena beberapa anak terdahulu berjenis kelamin laki-laki. Keinginan yang kuat itu membuat anak tertentu, biasanya anak bungsu, diperlakukan dan diasuh sebagai anak perempuan, antara lain dipakaikan rok, dipanjangkan rambutnya, dan didandani sebagai anak perempuan. Biasanya anak bungsu itu pun mewarisi karakteristik fisik ibu yang cantik, imut-imut, dan lembut. Ekses spesifik lain dari pola asuh anak perempuan membuat anak lebih dekat dengan ibu dan mendapat kesempatan lebih banyak mengambil alih karakteristik keperempuanan dari kepribadian ibu. Dengan demikian, kenyamanan anak laki-laki tersebut berperilaku keperempuanan akan lebih besar daripada berperilaku kelelakian. Sebagai penyertaan lanjut dari kondisi tersebut adalah berkembangnya minat erotik-seksual anak kemudian hari justru tertuju pada laki-laki (sejenis) daripada terhadap perempuan (lain jenis). Dan perlu disimak perkembangan lanjut dari keadaan transvestisme akan mengarah pada perkembangan ke arah kepribadian homoseksual.

E). Fetishisme
            Fetishisme merupakan pemujaan yang ditunjukan pada benda-benda mati atau bagian tubuh idolanya, sampai mendapatkan kepuasan seksual. Pada penderita fetishisme, aktivitas seksualnya disalurkan melalui bermasturbasi dengan BH (breast holder), celana dalam, kaos kaki, sarung tangan, alat-alat kecantikan, atau benda lain yang dapat meningkatkan hasrat atau dorongan fetishis. Sehingga, orang tersebut mengalami ejakulasi dan mendapatkan kepuasan. Namun, ada juga penderita yang meminta pasangannya untuk mengenakan benda-benda favoritnya, kemudian melakukan hubungan seksual yang sebenarnya dengan pasangannya tersebut. Penyimpangan semacam ini kebanyakan terjadi pada perempuan.

F).Incest
            Incest merupakan hubungan seksual dengan pasangan yang masih mempunyai pertalian darah. Penyebabnya adalah rasa takut dan ingin mendapatkan perhatian kasih sayang dari orang tua atau kakaknya. Biasanya faktor lingkunganlah yang mempengaruhi kelainan ini, yaitu karena adanya rasa cinta yang mendalam sebagai anggota keluarga. Selain itu, incest bisa juga terjadi karena pemaksaan. Misalnya seorang ayah memaksa anak kandungnya untuk berhubungan seksual.

G). Voyeurism
            Voyeurism adalah kelainan seksual yang pada penderitanya memperoleh kepuasan seksual dengan cara mengintip (peeping) atau melihat orang lain yang sedang telanjang, mandi, atau bahkan berhubungan seksual. Voyeurism ini kebanyakan terjadi pada laki-laki, meskipun terjadi juga pada perempuan. Voyeurism umumnya terjadi pada kaum muda dan single. Voyeurism bisa berujung pada masturbasi untuk memuaskan nafsu seksual.

H).Gerontofilia
            Gerontofilia adalah suatu perilaku penyimpangan seksual dimana sang pelaku tertarik dan mencari kepuasan kepada orang yang sudah berusia lanjut alias nenek-nenek atau kakek-kakek.
I). Bestialiatas
Bestialiatas atau zoophilia adalah hubungan seksual antara manusia dengan binatang. Misalnya; manusia dengan kuda, anjing, sapi, kambing, ayam, bebek, kucing, babi, simpanse. Jika bestialitas adalah sebutan untuk aktivitas seksualnya, maka kecenderungan atau ketertarikan seksual manusia terhadap binatang disebut zoofilia.
J).Nekrofilia
Nekrofilia adalah penyimpangan seksual dimana pelakunya melakukan hubungan seksual dengan orang yang sudah mati atau mayat.  Dalam bahasa Yunani, nekro berarti mayat. Kelainan ini disebut juga thanatofilia atau necrolagnia. Beberapa kebudayaan kuno melakukan hubungan ini sebagai media berkomunikasi dengan jin. Ada bebrapa contoh kasus yang pernah terjadi. Misalnya, Sersan Bertrand dari resimen ke-74 militer Prancis pernah membongkar kuburan beberapa wanita dan berhubungan seks dengan mayat wanita itu. Guido Henckel von Donnersmarck (mati 1916 ) juga diduga melakukannya dengan mayat istri pertamanya yang ia simpan dalam tangki alkohol raksasa. Ada juga orang bernama Henri Blot yang membongkar kuburan seorang penari balet, Fernande Mery, pada Maret dan Juni 1886 dan berhubungan seks dengan mayat itu.
K).Frotteurisme
            Frotteurisme merupakan kelainan seksual dimana pelakunya mendapatkan kepuasan seks dengan jalan menggesek-gesekkan bagian tubuhnya ke orang lain di tempat umum seperti kereta, pesawat, bis, atau konser musik. Aksi gesek-menggesek ini biasanya dilakukan dengan tangan atau juga dengan alat kelamin yang dikenakan pada sembarang tubuh korban, termasuk pada area kelamin korban. Mayoritas pelakunya adalah laki-laki dan kebanyakan korbannya adalah perempuan, walau ada juga perempuan yang melakukannya kepada laki-laki atau laki-laki kepada sesamanya.
L). Exhibisionism
            Exhibisionism merupakan kepuasan seksual didapat dengan cara memperlihatkan penis secara sengaja kepada perempuan atau anak kecil yang sesuai dengan keinginannya. Ini terjadi karena ketidakmatangan dalam pengenalan akan lawan jenis dan sulit dalam relasi antarpribadi. Tahapan awal munculnya kelainan ini adalah adanya perasaan cemas, gelisah, tegang yang berkepanjangan. Setelah penderita memperlihatkan penisnya, penderita merasa lebih tenang dan lega. Umumnya terjadi pada laki-laki. Lebih dari setengah dari semua pelaku exhibilitionist adalah menikah, tapi hubungan seks mereka dengan istri-istri mereka tidak memuaskan.

3. Ajaran Gereja Katolik Tentang Seksualitas



Sebelum masuk pada diskusi tanggapan Gereja terhadap permasalahan deviasi seksual terlebih dahulu kita pahami maksud dan pemahaman Gereja mengenai seksualitas itu sendiri. Pada umumnya para pemimpin Gereja memahami seksualitas berdasarkan apa yang dikatakan dalam Kitab Kejadian. Disana dikatakan bahwa “Allah menciptakan manusia seturut gambarNya, laki-laki dan perempuan diciptakan mereka”. Kemudian Allah memberkati mereka dan berfirman “Beranakcuculah dan bertambah banyak”, (Kej 1:27-28).
Pandangan dalam Perjanjian Lama ini kemudian disempurnakan dalam Perjanjian Baru. Yesus tampil sebagai tokoh yang memperbaharui pandangan ini seperti yang dikatakannya, “Pada awal dunia, Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan; sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Sehingga mereka bukan lagi dua, melainkan satu”, (Mark 10: 6-8).
Dari kedua teks diatas, para pimpinan Gereja Katolik kemudian mengajarkan bahwa[8];
a.       Pria dan wanita itu diciptakan dan diberkati Allah sendiri
b.      Pria dan wanita itu bersama-sama merupakan citra Allah
c.       Pria dan wanita itu memiliki martabat yang sama, yang berbeda adalah perannya
d.      Pria dan wanita diperintah oleh Allah untuk bersatu dan beranakcucu
e.       Hubungan seks hanya layak dilakukan oleh suami dan isteri yang bersedia bersatu sepenuh-penuhnya dan bersedia pula menurunkan anak.
Dari sini kita dapat melihat bahwa Gereja Katolik sangat menjunjungtinggi nilai seksualitas manusia. Seksualitas manusia diberlakukan seturut ajaran Kitab Suci.

4. Tanggapan Gereja Dari Segi Moral Seksualitas
            Diatas sudah dijelaskan permasalahan deviasi seksual dan ajaran resmi Gereja mengenai seksualitas. Tentu kita bisa melihat bahwa ajaran resmi Gereja ini tidak sesuai dengan realitas yang ada, dimana banyak terjadi kasus diviasi seksual. Meskipun diviasi ini tidak nampak dalam ajaran Gereja atau terkesan bertentangan dengan ajaran resmi Gereja, namun Gereja memiliki pandangan tersendiri mengenai beberapa kasus deviasi seksual. Perlu diakui bahwa pihak Gereja hanya memberikan tanggapan terhadap beberapa kasus deviasi saja. Beberapa diantaranya yakni;

A). Tanggapan Gereja tentang Homoseksualitas
Gereja menanggapai beberapa persoalan di atas dengan tetap mengacu pada tradisi dan magisterium.
a). Argumen pertama berdasarkan tradisi yang menolak homoseks. Hal ini bertolak dari pemikiran pokok Gereja, yakni soal contra naturam yakni melawan kodrat. Tindakan homoseks bertentangan dengan hukum kodrat, kerena bukan tindakan yang mengarah pada keturunan. Argumen ini mengikuti pemikiran Agustinus (354-430). Menurut Agustinus, hubungan seksual harus sesuai dengan tujuan dari perkawinan yakni keturunan. Hubungan seksual yang tidak mempunyai tujuan ini menurut Agustinus adalah perbuatan dosa[9].
b). Argumen kedua berdasarkan Magisterium juga menolak terhadap homoseks. Pertama; Persona Humane, No. 8, yang menganggap larangan hubungan homoseks sebagai ajaran tetap (doctrina constans) Gereja dengan menunjuk pada teks biblis dan juga alasan ketiadaan prokreasi. Kedua; Katekismus Gereja Katolik, No.2357-2358. Disana dikatakan “seorang homoseksual dipanggil untuk hidup murni. Melalui kebajikan pengendalian diri, yang mendidik menuju kemerdekaan batin, mereka dapat dan harus mungkin juga dengan bantuan persahabatan tanpa pamrih, mendekatkan diri melalui doa dan rahmat sakramental setapak demi setapak tetapi pasti menuju kesempurnaan Kristus, (No.2359).
c). DS 2044, homophilia ditolak bersama mollities (masturbasi) dan bestialitas sebagai dosa sejenis.
            Di sisi lain penting dipahami juga bahwa terdapat dua macam hal yang berbeda yaitu, 1), kecenderungan homoseksual dan 2), menjadi pelaku homoseksual. Kecenderungan ketertarikan terhadap sesama jenis itu belum membuahkan dosa sebelum dinyatakan dalam aktivitas seksual homoseksual. Gereja Katolik menganggap kecenderungan ini sebagai “objective disorder“ ketidakteraturan yang obyektif, karena menjurus kepada hubungan seksual yang tidak wajar. Kecenderungan homoseksual di sini menyerupai kecenderungan yang dimiliki untuk kebiasaan buruk lainnya, misalnya ada orang yang memiliki kecenderungan pemarah, pemabuk, pemalas, dst. Kecenderungan ini baru akan berbuah menjadi dosa, jika terus dituruti keinginannya. Dalam hal ini, jika mereka yang gay terus bergaul dalam lingkungan gay dan mempraktekkan kehidupan seksual gaya gay, demikian juga yang lesbi. Namun, jika tidak, maka kecenderungan tersebut tidak berbuah dosa.

B). Tanggapan Gereja tentang Onani
Gagasan mengenai onani atau masturbasi terungkap dalam kitab Kejadian. Pandangan ini ditemukan dalam kisah tentang seseorang yang bernama Onan. Disana dikatakan bahwa, “Setiap kali menghampiri isteri kakaknya itu, ia (Onan) membiarkan maninya terbuang, supaya ia tidak membuahkan keturunan demi kakaknya. Tetapi yang dilakukan itu jahat dimata Tuhan, maka Tuhan membunuhnya”, (Kej 38:4-10). Berdasarkan pandangan ini, pimpinan Gereja Katolik kemudian mengajarkan bahwa[10];
a)      Pada dasarnya, membuang sperma di luar hubungan seks suami-istri merupakan suatu tindakan yang tidak layak
b)      Maka pada dasarnya onani tidaklah layak dilakukan
c)      Meskipun demikian, onani yang terjadi tanpa disengaja, misalnya karena adanya problem-problem psikis, tidaklah selalu merupakan suatu perbuatan yang secara moral jahat.
Karena itu, pimpinan Gereja Katolik tetap menolak tindakan onani dan melihat hal itu bukan perbuatan yang baik.

C). Tanggapan Gereja mengenai Kemurnian
Para pemimpin Gereja mendasari pandangan kemurnian ini bertolak dari “Kesepuluh Firman Allah” yang antara lain berbunyi “ Jangan berzinah dan jangan mengingini isteri orang lain”, ( Kel 20, 14.17).  Padangan ini kemudian diteruskan oleh Yesus dalam kotbahnya di bukit. Disana Ia menyerukan untuk menjauhkan diri dari sikap perzinahan, (Mat 5, 27-28). Santo Paulus juga dalam karya pewartaannya menganjurkan kepada pendengarnya untuk menjauhkan diri dari bahaya percabulan.
Berdasarkan beberapa pandangan diatas, pimpinan Gereja kemudian mengajarkan bahwa[11];
a)      Orang tidak layak berbuat cabul, dengan siapa pun juga
b)      Orang bahkan diharapkan menghindari keinginan untuk berbuat cabul dan menghindari pornografi serta kesempatan-kesempatan yang menggoda.

4. Langkah-Langkah Pastoral Dan Pendampingan
            Gereja  menyadari bahwa tidak sedikit pria dan wanita yang sedemikian mempunyai kecenderungan homoseksual yang tidak mereka pilih sendiri. Karena itu perlu dianjurkan untuk pendampingan pastoral kepada mereka. Beberapa lankah pastoralnya yakni;
a). Menghilangkan diskirimisi terhadap kelompok homoskes. Hal ini berangkat dari situasi masyarakat sekarang yang menolak dan tidak mengakui kehadiran mereka di tengah masyarakat. Akibatnya mereka merasa takut, cemas, minder, rasa tidak diterima, ataupun dicurigai. Karena itu, Gereja berusaha memahami situasi orang homoseks dan menerima mereka secara terbuka dalam relasi sosial.
b). Berdialog dengan orang-orang homoseks serta membagi pengalaman bersama mereka. Dari sini Gereja dapat mencari solusi bagi mereka.
c). Memberikan pendampingan rohani, serta menjelaskan kepada mereka makna perintah cinta kasih dalam Gereja dalam upaya menghayati nilai seksualitas manusia[12].
d).Memberikan pendampingan medis terkait dengan efek-efek negatif yang mungkin ditimbulkan dari penyimpangan-pentimpangan seksual.
e). Sedapat mungkin Gereja mewadahi (penggerak) dalam memberikan pendampingan psikologis. Dalam hal ini, Gereja bisa bekerjasama dengan lembaga-lembaga sosial yang berkarya pada bidang kemanusiaan.

5. Penutup
             Seksualitas merupakan keseluruhan cara berada manusia. Oleh karena itu, seksualitas selalu berkaitan dengan seluruh perilaku manusia sebagai makhluk biologis. Jelas bagi kita, bahwa seksualitas manusia sangat menentukan diri manusia sebagai pribadi dan sebagai makhluk sosial. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa tidak sedikit terjadi deviasi seksulitas dalam kehidupan kita. Faktor-faktor terjadinya deviasi seksualitas telah dijelaskan di atas sesuai dengan jenis-jenis deviasi seksualitas.
            Bertolak dari deviasi seksualitas inilah, Gereja merasa diri berkepentingan untuk menanggapi segala persoalan tersebut. Walaupun dalam tubuh pemimpin Gereja sendiri, ada saja penyimpangan seksualitas. Namun Gereja sebagai wakil Kristus yang berpihak kepada orang lemah dan tak berdaya, tetap berseru dan memperjuangkan nasib mereka, walaupun Gereja juga harus berani mengadili sesama anggotanya sendiri.
            Oleh karena itu,  Gereja juga harus secara khusus memeprhatikan dirinya sendiri. Gereja harus menjadi teladan kebaikan dan pemerhati deviasi seksualitas. Gereja perlu memperhatikan dengan baik mengenai proses pendidikan para calon pemimpinnya. Gereja mengakui bahwa psikologi dapat memberi masukan yang berharga dalam pembinaan para calon imam dan biarawan-biarawati, demi mengembangkan dalam diri mereka kepribadian yang seimbang. Bantuan yang ditawarkan oleh ilmu psikologi harus dipadukan di dalam konteks yang menyeluruh dari pembentukan calon. Bantuan itu tidak boleh menghambat, tetapi justru harus menjamin nilai-nilai yang tak tergantikan dari bimbingan rohani. Bimbingan rohani dan psikologi harus berjalan bersamaan. Keduanya tidak boleh dipisahkan atau saling meniadakan. Kedunya harus saling melengkapi.
Seperti kata pepatah “lebih baik mencegah, daripada mengobati” mungkin penting untuk kita dalam mencermati masalah seksualitas. Sungguhpun telah terjadi deviasi di luar kontrol, hal itu pun harus menjadi perhatian kita semua. Tugas kita adalah peka dan tanggap terhadap segala penyimpangan tersebut dan bangkit untuk berbuat sesuatu guna membantu mereka yang terjerat dalam masalah seperti ini.
          

Daftar Pustaka
Buku
Abineno, J.L,.
            1980 Seksualitas Dan Pendidikan Seksuil, Bpk Gunung Mulia, Jakarta.
Hartani,  Inge M.C.
            2007 Pendidikan Anak Di Rumah Di Bidang Seksualitas, Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang, Semarang.
Konseng, A.,
            1995 Menyingkap Seksualitas, Obor, Jakarta.
Maas, K.,
            1998 Teologi Moral Seksualitas, Nusa Indah, Ende.
Tukan, S. J.,
1993 Metode Pendidikan Seks, Perkawinan dan Keluarga, Erlangga, Jakarta.

Artikel
Marx,D. I dan Theol, D.,
            2008 “Etika Kristen Dan Respon Terhadap Permasalahan Seksualitas Masa Kini: Bimbingan Praktis” dalam STULOS Jurnal Teologi STT Bandung, Vol.7, No.2.




[2] Secara harafiah diartikan sebagai di luar cinta yang lazim atau di luar kebiasaan yang diterima oleh masyarakat umum.
[3] ----“Perspektif Etika Kristen Atas Masalah Seksualitas Di Masyarakat” dalam  Jurnal Teologi Stulos, Sep.2008, 136-137.
[4] K. Maas, Teologi Moral Seksualitas, Nusa Indah, Ende, 1998, 138.
[5] Hal ini tidak sesuai dengan ajaran Gereja mengenai tujuan dari perkawinan, bdk.
[6] K. Maas, Teologi Moral Seksualitas, 139.
[7] K. Maas, Teologi Moral Seksualitas, 140-141.

[8] M.C. Inge Hartani, dkk., Pendidikan Anak Di Rumah Di Bidang Seksualitas, Komisi Pendampingan Anak Keuskupan Agung Semarang, 2007, 19-20.
[9] J.L. Ch. Abineno, Seksualitas Dan Pendidikan Seksuil, Bpk Gunung Mulia, Jakarta, 1980, 18.
[10] M.C. Inge Hartani, dkk., Pendidikan Anak Di Rumah Di Bidang Seksualitas,  21.

[11] M.C. Inge Hartani, dkk., Pendidikan Anak Di Rumah Di Bidang Seksualitas,  20 - 21.


[12] K. Maas, Teologi Moral Seksualitas, 147-148.

Rabu, 16 Mei 2012

Meneropong Budaya Dan Tradisi



MEMBEBASKAN PEREMPUAN DARI JERAT ADAT
Sebuah Tinjauan Dari Ajaran Sosial Gereja

I. Pengantar
Keharmonisan Pulau Sumba
      Manusia pada hakikatnya memiliki martabat kemanusiaan sejak pertama kali hadir di dunia ini. Martabat ini yang dipandang sebagai nilai tertinggi dari segala ciptaan Tuhan. Nilai ini pulalah yang membedakan manusia dengan ciptaan lainnya. Dengan berasaskan nilai martabat ini maka dituntut agar setiap pribadi manusia baik pria maupun wanita patut dihargai. Hukum ini menjadi hukum alam yang berlaku bagi siapa saja. Siapapun kita mempunyai tanggungjawab menghargai martabat orang lain dan juga martabat diri kita sendiri. Ada beberapa pandangan mengapa kita harus menghargai martabat hidup manusia. Pertama; berciri kristiani yakni karena martabat hidup manusia berasal dari Allah. Allah yang menciptakan manusia seturut gambar dan rupaNya, (Kej1, 27). Dari pandangan ini mau dikatakan bahwa hidup dan martabat manusia adalah milik Allah. Manusia atau sesamanya tidak berhak atas hidup dan martabat sesamanya. Selain itu hidup dan martabat manusia memiliki nilai rohaniah, karena manusia diciptakan seturut gambar dan rupa Allah. Manusia sebagai gambaran Allah yang nyata (Imago Dei). Dengan demikian tak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk merendahkan martabat manusia atau mengakhiri hidup manusia. Karena Allah sendirilah yang empunya hidup manusia. Kedua; berciri sosial. Pada ciri ini manusia dituntut untuk saling menghargai hidup dan martabat sesamanya. Karena dalam membina dan membangun relasi sosial harus ada sikap penghargaan terhadap sesama. Relasi tidak akan berjalan lancar jika terjadi ketidakcocokan atau terjadi disharmoni antar sesama. Salah satu cara untuk membentuk keharmonisan dan keseimbangan sosial adalah dengan menghargai martabat dan hidup sesamanya. Inilah hukum sosial yang menjadi landasan dalam pergaulan dan relasi sosial. Ketiga; berciri antropologi. Setiap manusia, hidup dan berkembang berdasarkan pola kebudayaannya masing-masing. Dalam budaya-budaya itu terdapat tatanan-tananan nilai. Ada berbagai tatanan nilai yang diwariskan dalam berbagai kebudayaan. Misalnya, budaya Jawa mewariskan budaya menghargai orang yang lebih tua, atau budaya Flores yang mewariskan budaya menghargai tamu. Nilai-nilai ini tentu bukan lahir begitu saja melainkan karena ada sesuatu yang lebih dari budaya itu yakni martabat kemanusiaan. Budaya lahir karena demi menghormati nilai hidup manusia. Ketiga pandangan ini yang telah melekat dalam pola pikir kehidupan masyarakat Indonesia.
      Namun kita perlu mengkritisi beberapa kebudayaan atau tradisi yang secara tidak langsung telah menciptakan ruang ketidakadilan jender. Adat, kebiasaan serta tradisi sering kali menekan kedudukan kaum wanita. Sebagian wanita terutama di pedesaan tidak menyadari bahwa pada hakikatnya mereka memiliki hak untuk tampil bersama pria dalam setiap bidang kehidupan. Namun dengan adanya sistem tradisi yang dihidupi (patriarkal) terkadang mereka larut dalam penguasaan kaum pria. Bahkan mereka (kaum  wanita) merasa cukup puas dengan keadaan, kebiasaan atau tradisi yang dihidupi. Dengan demikian mereka tidak merasa bahwa situasi itu sebenarnya telah merampas hak mereka. Salah satu contoh adalah tradisi belis (mahar) yang dihidupi oleh masyarakat Sumba. Belis atau mahar yang pada hakikatnya sebagai nilai penghargaan bagi keluarga kaum  wanita, kini telah disalahartikan. Zaman kini belis telah mengalami pergeseran nilai dan maknanya. Masyarakat jaman kini mamaknai belis itu secara sempit, yakni sebagai barang atau alat tukar dengan wanita atau istri. Membayar belis dipahami sebagai membeli istri atau membeli wanita. Pengertian yang dangkal ini yang kemudian hari memicu rasa superioritas suami terhadap istri. Tak dapat disangkal bahwa ada banyak kasus yang telah terjadi misalnya kekerasan dalam rumah tangga atau  pelecehan seksual diakibatkan oleh budaya belis ini. Budaya belis telah melunturkan nilai kemanusiaan seorang wanita. Selain budaya belis, ada juga beberapa tradisi perkawinan yang turut merendahkan martabat wanita. Beberapa diantaranya adalah sistem perkawinan paksa, melarikan gadis, masuk keluarga atau sistem perkawinan bersandar. Segala bentuk praktek ini telah dilazimkan dalam tatanan kehidupan masyarakat Sumba. Bagi mereka hal demikian dilihat sebagai suatu kebiasaan yang bertujuan baik. Namun tanpa disadari bahwa proses pelecehan martabat manusia sedang terjadi. Karena itu salah satu langkah yang dapat memperbaharui cara pandang orang-orang Sumba adalah dengan memberi pencerahan dari ajaran-ajaran Gereja. Mengingat bahwa orang Sumba hidup didalam dua dimensi yakni sebagai orang yang beriman sekaligus orang yang berbudaya. Dengan cara demikian dapat meminimalisir kasus kekerasan yang kerap terjadi dalam keluarga. Hal ini seturut seruan deklarasi diskriminasi terhadap wanita (1971), artikel 3 yakni; “Segala tindakkan yang patut harus diambil untuk mendidik pendapat umum dan untuk mengarahkan cita-cita nasional ke jurusan pembasmi prasangka dan menghilangkan adat-istiadat (kebiasaan) dan segala praktek-praktek lain yang didasarkan atas pikiran rendahnya martabat wanita”. Seruan ini bertujuan untuk menghapus segala bentuk adat dan tradisi yang mengukung hak-hak wanita. Adat dan tradisi ini telah melahirkan kesenjangan jender antara pria dan wanita. Oleh karena itu segala bentuk kegiatan pada umumnya cenderung bertindak atau berlaku sesuai dengan ideologi jender dari masyarakat setempat[1]. Situasi ini akhirnya menjadi keprihatinan Gereja. Gereja melalui seruan-seruannya yang terangkum dalam Ajaran Sosial Gereja turut berpartisipasi aktif dalam upaya menyejajarkan harkat dan martabat antara pria dan wanita. Gereja menyikapi secara serius persoalan gender ini. Dan sebagai langkah awal dalam penerapan seruan Gereja ini yakni bisa diterapkan dalam langkah pastoral. Dimana dengan cara ini Gereja melalui para gembalanya dapat membela dan mendukung kesederajatan hak serta peran antara pria dan wanita.

II. Budaya Belis Dan Sistem Perkawinan Yang Mendominasi
            Masyarakat Sumba hidup dalam dua sendi yakni agama dan tradisi. Kedua sendi ini melekat erat dalam keseharian masyarakat Sumba. Orang-orang Sumba beriman kristiani juga menghidupi tradisi. Karena itu sangatlah tepat jika membicarakan permasalahan jender yang disebabkan oleh adanya tradisi dari perpektif Ajaran Sosial Gereja. Untuk itu sebelum kita melihat peran tradisi dan Ajaran Sosial Gereja, terlebih dahulu akan dibahas status dan peran perempuan Sumba dalam kehidupan keseharian.

2.1 Peran dan Status Perempuan  Sumba dalam Masyarakat
            Struktur organisasi masyarakat melatarbelakangi kehidupan adat yang merupakan aspek utama budaya suatu suku bangsa. Struktur masyarakat ini berlandaskan pada prinsip-prinsip keturunan. Struktur masyarakat Sumba pada umumnya berciri bilineal yang terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan yaitu clan. Clan ini masih terbagai dalam dua susunan garis-garis keturunan, yakni garis keturunan bapak (patrilineal) dan garis keturunan ibu (matrilineal). Sebagian kecil suku menghidupi ciri matrilineal, sedangkan sebagian besar menghidupi ciri patrilineal. Sistem patrilineal ini yang banyak dipraktekan sebagian besar suku di Sumba. Dan sistem inilah yang menentukan peran dan status antara pria dan wanita. Selain sistem keturunan bilineal, ada juga sistem genealogis teritorial yang menentukan struktur kekerabatan tradisional masyarakat Sumba. Sistem teritorial genealogis berarti bahwa seseorang baru diakui dan diterima sebagai anggota masyarakat apabila ia mengadakan pertalian keturunan dan bertempat tinggal dalam daerah yang telah ditentukan. Sistem ini biasanya diterapkan kepada para pendatang agar diterima dalam suatu masyarakat. Dari kedua sistem diatas melahirkan status-status sosial atau pelapisan masyarakat (social stratification). Pada umumnya terdapat tiga kelas sosial yakni masyarakat kelas atas yang terdiri dari para imam Merapu (Rato) dan tetua-tetua adat, masyarakat menengah yakni masyarakat biasa dan yang ketiga masyarakat kelas bawah yakni para hamba dan para pendatang.

2.2 Struktur yang mendominasi: Antara Patriarki dan Kyriarki
            Seperti sudah dijelaskan diatas, masyarakat Sumba pada umumnya menghidupi sistem patriarki dan kyryarki. Patriarki berasal dari kata Latin Pater, yang berarti bapak, dan kata Yunani arche yang berarti kekuasaan. Patriarki merupakan kekuasaan bapak (kaum laki-laki) yang mendominasi, mensubordinasikan dan mendiskriminasikan kaum perempuan. Dalam segala bidang kehidupan kaum laki-laki menjadi pusat dan kaum perempuan dimarginalkan[2]. Misalnya; tugas seorang perempuan hanya dibatasi pada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, mengurus anak dan melayani suami. Sedangkan laki-laki diidentik dengan pencari nafkah, pengambil keputusan dalam keluarga sehingga secara tidak langsung membuat laki-laki merasa lebih berkuasa dalam keluarga. Laki-laki atau bapak sebagai tuan dalam keluarga. Singkatnya patriarki merupakan dominasi atau kontrol laki-laki atas perempuan; atas badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, perannya dan statusnya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat[3]. Pengertian ini kemudian dibakukan dalam budaya-budaya yang menganut sistem patriarki. Selain itu sistem ini seakan-akan menjadi ideologi masyarakat dan sebagai tolak ukur dalam membagi fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan.
            Selain patriarki, masyarakat Sumba juga menganut sistem kyriarki. Kyriarki berasal dari kata Yunani kyrios yang berarti tuan, dan arce yang berarti kuasa. Kyriarki menunjukkan ada dualisme jender, dominasi laki-laki terhadap perempuan yang berada dalam piramida sosial dari subordinasi yang kompleks dan berlapis-lapis. Kyriarki tidak hanya menunjuk pada ketidakadilan jender atau relasi laki-laki dan perempuan, melainkan juga dominasi dari tuan, raja, kaisar, penguasa, pembesar, pemilik, atau majikan[4]. Beberapa suku di Sumba masih menganut sistem ini. Ada pembagian kelas sosial (piramida sosial)  antara tuan dan hamba. Suku yang menganut sistem ini bahkan meyakini bahwa menjadi hamba atau pelayan dari seorang raja merupakan suatu keistimewaan. Adanya pemahaman seperti ini sehingga para hamba atau para selir raja tidak menyadari akan hak-hak asasi mereka. Seorang raja bisa memiliki ratusan hamba dan puluhan selir. Biasanya mereka mendiami suatu kampung tertentu. Semua masyarakat yang masuk dalam wilayah teritorial kekuasaan raja tersebut maka secara otomatis ia menjadi pelayan bagi raja. Sistem ini selain membuat hak-hak para hamba diremehkan sekaligus menciptakan kesenjangan ekonomi. Hal ini dipengaruhi sistem struktural yang ada dalam wilayah kekuasaan raja. Sebagian  hasil panen para hamba wajib diberikan kepada raja. Demikian juga hasil ternak para hamba dijadikan sebagai milik para raja. Sistem ini yang menciptakan kesenjangan ekonomi, dimana raja yang kaya semakin kaya dan para hamba semakin miskin dan melarat.
Para feminis akhir-akhir ini banyak melontarkan kritik atas kedua struktur ini. Mereka mengkritisi atas kesenjangan peran yang banyak didominasi oleh kaum laki-laki. Tuntutan utamanya adalah pengahapusan ideologi jender yang selalu membenarkan tindakan diskriminasi laki-laki terhadap perempaun serta menegakan martabat perempuan. Para feminis berjuang agar terjadi suatu keseimbangan dan kesederajatan antara peran dan fungsi laki-laki dan perempuan. Karena mereka melihat bahwa sistem ini yang memposisikan wanita sebagai  warga kelas dua.

2.2 Sistem Perkawinan Tradisional
            Bentuk perkawinan tradisional Sumba adalah eksogami searah atau asymmetris comnibium, yaitu perkawinan di luar sebuah klan. Pola perkawinan demikian sangat mengutamakan perkawinan antar kemenakan (cros cousin marriage), yang dilakukan antara anak gadis saudara laki-laki (mothers brothers daughter) dengan putera saudara perempuan bapak (fathers sister son). Kedudukan pihak pemberi gadis lebih tinggi daripada pihak penerima gadis. Hal ini dikarenakan pihak pemberi gadis berfungsi sebagai sumber keturunan. Perkawinan eksogam searah ini berarti pula perkawinan antar klan dalam satu kelompok suku namun tidak menutup kemungkinan untuk membuka hubungan dengan klan dari suku lain. Meskipun demikian adat tetap melarang melangsungkan perkawinan dengan orang yang masih keluarga sebatih yaitu antara paman-bibi dengan kemenakan. Atau antara saudara-saudari kandung. Selain bentuk perkawinan ini ada juga beberapa sistem perkawinan tradisionil lainnya yakni sistem perkawinan masuk kamar, perkawinan hari tenang, perkawinan masuk keluarga, perkawinan masuk paksa dan sistem perkawinan dengan melarikan gadis[5]. Dibawah ini saya mencoba menguraikan secara garis besar cara-cara perkawinan tradisional diatas.

  1.     Sistem Perkawinan Masuk ke Kamar
      Cara perkawinan ini dilakukan antara kelompok-kelompok keluarga yang telah mempunyai hubungan perkawinan tetap selama beberapa generasi. Biasanya jodoh untuk anak ditentukan ketika lahir. Ketika ada keluarga dari klan lain yang melahirkan seorang bayi maka klan lain yang masih berada dalam suku tersebut boleh memesan bayi tersebut sebagai bakal isteri atau suami dari anaknya. Pihak pemesan biasanya memberi hadiah beberapa ekor kuda sebagai pengikat kepada orang tua si bayi. Dengan demikian dianggap sah bahwa bayi yang telah dipesan itu dikemudianhari akan dikawinkan dengan anak dari keluarga yang memesankannya.

  1.     Sistem Perkawinan Bersandar (Pakangerangu)
Cara perkawinan ini ditempuh apabila ada salah satu pihak yang menyandarkan diri pada bantuan pihak lain yang lebih kaya. Hal ini dimaksudkan agar pihak yang kaya tersebut dapat membayar belis (mahar) kepada calon istri. Atau cara lain adalah dengan menitipkan salah seorang putera sejak masih kanak-kanak kepada pihak penerima gadis. Ia akan diasuh dalam rumah bakal istrinya.  Setelah dewasa ia mempunyai tanggungjawab untuk menikahi salah seorang gadis dari keluarga yang mengasuhnya. Hal ini bermaksud agar anak laki-laki tersebut tidak lagi membayar belis atau mahar.

  1.     Sistem Perkawinan Masuk Keluarga
Cara perkawinan ini ditempuh apabila seorang paman tidak mempunyai putera. Maka demi kelangsungan keturunan lurus keluarga paman itu ia memungut salah seorang putera saudara perempuannya. Anak ini dianggap sebagai anak kandung dari si paman. Kelak anak yang diangkat oleh paman dikawinkan dengan anak dari salah seorang dari saudarinya yang lain. Jadi sebenarnya secara biologis merupakan perkawinan endogami, namun hal ini disahkan oleh adat.


  1.     Sistem Perkawinan Masuk Paksa
Sistem perkawian ini cukup populer. Perkawinan ini biasanya dilakukan oleh para pemuda atau gadis yang telah dijodohkan dengan orang pilihan kedua orang tuanya namun mereka tidak menyetujui perjodohan tersebut. Karena itu pemuda atau gadis yang telah dijodohkan itu rela tidur bersama pasangan pilihannya (masuk kamar).

  1.     Sistem Perkawinan Melarikan Gadis
Sistem ini memberikan kebebasan kepada pemuda untuk mencuri dan melarikan gadis yang ia cintai dari suku lain untuk kemudian dijadikan isterinya yang sah. Gadis yang diculik itu bawa ke rumah sang pemuda, kemudian meresmikan hubungan antara keduanya meskipun pihak gadis tidak berkenan untuk menerima hubungan tersebut. Sebagai tanda damai dengan keluarga pihak gadis maka pemuda tersebut cukup membayarnya dengan beberapa ekor hewan. Dengan demikian hubungan antara pemuda dengan gadis yang diculik tersebut dianggap sah.

  1.     Sistem Perkawinan Hari Terang (Haringu)
Sistem perkawinan ini sangat berbeda dengan sistem perkawinan yang lainnya. Karena sistem perkawinan ini memberikan kebebasan kepada pemuda atau anak gadis untuk menentukan pasangannya sendiri sesuai dengan keinginannya.

2.3 Makna dan Tujuan Belis
Kuda Sandelwood
            Pada umumnya masyarakat Sumba memahami belis atau mahar sebagai welis atau wili. Kata wili ini mengandung makna suatu perbuatan tunai (contante handeling) dengan membayar sejumlah uang atau benda untuk melepaskan suatu bagian dari suatu hubungan kehidupan. Namun dalam adat Sumba, wili atau belis tidak dapat diartikan sebagai membeli gadis atau membeli perempuan. Belis tidak bernilai ekonomis. Oleh Karena itu belis tidak pernah berupa uang melainkan benda-benda tertentu yang dianggap mempunyai nilai magis, seperti alat-alat perhiasan, sandang dan juga berupa hewan-hewan jenis tertentu. Dalam adat Sumba belis (mahar) lebih berfungsi sebagai sarana magis religius untuk melepaskan seorang gadis dari lingkungan kehidupan keluarganya guna dialihkan ke dalam lingkungan kehidupan keluarga baru bersama suami[6]. Belis ini dilihat juga sebagai bentuk ungkapan penghargaan keluarga laki-laki kepada kedua orang tua perempuan dan keluarganya. Sehingga belis ini tidak dapat disamakan dengan mas kawin atau hadiah perkawinan. Namun akhir-akhir ini masyarakat cenderung salah mengartikan makna belis. Belis dimengerti sebagai upah pembelian istri. Belis-belis yang diberikan kepada pihak perempuan dilihat sebagai alat ukur ekonomis. Nilai seorang gadis direduksikan kedalam sejumlah belis yang dibayar.

2.4 Belis Sebagai Faktor Utama Kesetaraan Gender
            Sebagian besar masyarakat Sumba kini banyak salah mengartikan makna belis (mahar). Belis yang sedianya sebagai tanda penghargaan kepada kedua orang tua si gadis, kini dipahami sebagai biaya atau harga beli terhadap diri seorang istri. Diri istri seakan-akan dibeli oleh suami. Oleh karena itu sang istri akan masuk kedalam lingkungan keluarga suami. Dalam lingkungan keluarga sang suami istri tidak mempunyai hak atas anak-anaknya[7]. Selain itu sang istri mempunyai kewajiban untuk mengawini saudara laki-laki apabila suaminya meninggal. Dari sistem seperti ini maka lahirlah konsepsi-konsepsi bahwa kedudukan perempuan selalu berada dibawah kekuasan laki-laki atau sang suami. Hal ini juga yang membuat sang suami sangat berkuasa atas diri istrinya. Sehingga kerapkali muncul tindakan kekerasan dalam rumah tangga.

III. Analisis Dari Ajaran Sosial Gereja
            Berkaitan dengan permasalahan jender ini Gereja tidak tinggal diam. Gereja turut berpartisipasi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan teristimewa dalam hal kesetaraan jender. Gereja melalui tokoh-tokohnya seperti para paus dan kolegialitas para uskup menyerukan agar adanya suatu kesederajatan antara perempuan dan laki-laki. Seruan Gereja mulai bergema sejak pada masa Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II membuka suatu cakrawala baru bagi Gereja untuk tidak berdiam diri ketika berhadapan dengan persoalan kemanusiaan, secara spesifik masalah jender. Keprihatinan Gereja ini akhirnya melahirkan dokumen-dokumen yang memuat dukungan perjuangan kaum wanita modern untuk memperoleh kesetaraan dengan kaum pria (GS 9). Ada beberapa artikel dalam dokumen Konsili Vatikan II yang berbicara tentang kesetaraan jender ini antara lain; Gaudium Et Spes (1965), juga ensilik-ensiklik paus seperti Laborem Exercens (1981) atau dalam surat apostoliknya; Mulieris Dignitatem. Semua dokumen dan ensiklik ini menyerukan satu tema pokok yakni kesetaraan jender antara laki-laki dan perempuan. Gereja tidak ingin adanya pembedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Gereja baik pria maupun wanita diciptakan sama dan sederajat. Kedua-duanya diciptakan seturut citra Allah (Kej 1, 27). Untuk itu sebelum masuk lebih jauh kedalam analisis Ajaran Sosial Gereja mengenai kesetaraan jender, terlebih dahulu kita mengetahui dasar-dasar teologis yang mendasari perjuangan Gereja. Pada umumnya landasan teologis Gereja berciri  alkitabiah.


3.1 Perempuan dalam Pandangan Teologi Kristiani
            Persoalan jender merupakan sebuah persoalan klasik. Sejak zaman penciptaan sudah ada bias-bias jender. Kaum  feminis melihat bahwa kisah penciptaan telah disalahartikan oleh sebagian besar masyarakat. Kedudukan dan peranan wanita dalam Kitab Suci sering berada di bawah bayang-bayang laki-laki[8]. Tidak jarang kesalahan dialamatkan kepada Kitab Suci khususnya kitab penciptaan yang terdapat dalam Kejadian bab 1 dan 2. Disana dikatakan bahwa penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki (Kej 2, 21). Dan yang terlebih dahulu diciptakan Allah adalah laki-laki dan baru kemudian  perempuan (bdk. 1 Kor 11:8-9; I Tim 2:11-15). Dari teks-teks ini akhirnya disimpulkan bahwa laki-laki adalah superior sedangkan perempuan berada dibawah laki-laki[9]. Teks ini diperkuat lagi oleh Kej 3; 16 bahwa seorang suami akan berkuasa atas diri seorang istri. Kerapkali teks-teks ini dijadikan sebagai penjustifikasian atas perlakuan terhadap perempuan. Teks-teks semacam ini pula yang mempengaruhi pola pikir masyarakat adat. Mereka menjadikan teks semacam ini sebagai pedoman dalam pemberlakuan hukum adat. Sehingga hukum adat yang melihat perempuan tidak lebih tinggi dari laki-laki mendapat dukungan kuat dari Kitab Suci.
            Namun jika ditelusuri lebih jauh kita akan menemukan bahwa teks penciptaan pada dasarnya bukanlah mengarah pada persoalan jender. Penciptaan perempuan setelah laki-laki harus dimengerti dalam terang ayat 18; Tuhan Allah berfirman; tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia”.  Ayat ini menunjukkan kebutuhan sosial manusia untuk mengatasi kesendirian asali (original solitude). Kesendirian asali ini berarti bahwa Adam sadar bahwa ia berbeda dengan semua ciptaan lainnya. Kesadaran Adam akan kesendirian inilah yang disebut sebagai kesendirian asali. Dari situasi kesendirian ini Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam. Asal-usul dari tulang rusuk ini hendak mengatakan bahwa Adam dan Hawa memiliki kesatuan asali yang jauh lebih mendalam daripada kesatuan yang muncul karena menjadi species biologis yang sama[11]. Penciptaan Hawa dari tulang rusuk menunjukkan kesatuan yang lebih mendalam, kesatuan dalam perbedaan. Dengan penciptaan ini maka baik Adam maupun Hawa dapat mengatasi kesendirian masing-masing. Atau hanya dengan kehadiran kedua pribadi maka masing-masing dapat mengatasi kesendirian asali. Sehingga baik dalam diri Adam maupun dalam diri Hawa  terjadilah pengakuan akan saling memiliki (mutual belonging) satu terhadap yang lain[12]. Dari pemahaman ini maka tidak adanya pandangan subordinasi terhadap perempuan. Baik perempuan maupun laki-laki diciptakan sama dan sebagai penolong satu terhadap yang lain. Dari sini kita dapat melihat bahwa teologi kristiani sebenarnya menempatkan perempuan dan laki-laki sederajat. Tidak ada perbedaan antara keduanya.

3.2 Ajaran Sosial Gereja Mengenai Kesetaraan Jender
            Menanggapi persoalan jender ini Gereja menyerukan agar martabat manusia teristimewa martabat perempuan harus dihargai. Gereja melalui bapa-bapa Konsili merumuskan suatu ajaran untuk menghargai dan menjunjungtinggi harkat dan martabat manusia. Karena semua orang mempunyai jiwa yang berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat serta asal mula yang sama (GS 29). Gereja mendasari ajaran kesamaan martabat ini dengan melihat bahwa semua manusia merupakan gambar Allah. Baik perempuan maupun wanita diciptakan sesuai citra Allah. Lebih jauh Gereja melihat bahwa semua manusia ditebus oleh Kristus dan  mengemban panggilan serta tujuan ilahi yang sama pula. Maka harus semakin diakuilah kesamaan antara semua orang (GS 29). Disini Gereja merefleksikan bahwa semua manusia sudah ditebus oleh Kristus. Jika demikian maka tidaklah pantas kalau diantara sesama manusia masih ada unsur penindasan satu terhadap yang lain. Karena dengan penebusan Yesus semua manusia menjadi satu dan sama serta mengemban tugas Ilahi yang sama pula. Semua manusia mempunyai martabat yang sama didalam Yesus Kristus. Yesus sendiri dalam pewartaanNya Ia memerintah dengan jelas kepada putera-puteri Allah supaya mereka bertingkahlaku sebagai saudara satu terhadap yang lainnya. Dalam doaNya Yesus meminta, supaya semua muridNya menjadi satu (GS 32). Disini jelas bahwa sejak awal Yesus tidak membeda-bedakan manusia. Yesus memperlakukan mereka secara adil. Demikian juga orang-orang kristiani harus mampu memperlakukan sesamanya secara adil tanpa membeda-bedakan.
            Selain ajaran dari dokumen-dokumen Konsili, para paus juga mengeluarkan ensiklik-ensiklik. Salah satu ensiklik yang berbicara tentang penghargaan martabat wanita adalah ensiklik Laborem Excercens. Ensiklik ini yang dikeluarkan oleh paus Yohanes Paulus II. Dalam ensiklik ini paus menegaskan bahwa para perempuan mampu menunaikan tugas-tugas mereka sesuai dengan kodrat mereka. Karena itu tidak ada sikap diskriminasi terhadap pekerjaan-pekerjaan perempuan (LE 19). Paus menekankan agar  pekerjaan kaum perempuan harus dihormati dan dihargai. Demikian juga harus tetap mempunyai sikap respekt dan hormat terhadap aspirasi-aspirasi mereka. Sebab perempuan juga memberikan sumbangan bagi kesejahteraan masyarakat (LE 19). Kaum perempuan turut mengambil bagian dalam memajukan suatu masyarakat. Bahkan peran mereka menjadi sentral dalam tatanan kemasyarakatan. Sebagai contoh peran perempuan sebagai ibu keluarga. Disana mereka memegang dan mengatur keseluruhan kehidupan keluarga. Paus juga menganjurkan agar struktur-struktur pekerjaan tidak merugikan wanita (LE 19). Setiap sektor pekerjaan harus menciptakan keadilan bagi wanita. Perempuan dan laki-laki tetap memiliki kesempatan kerja yang sama. Namun demikian tetap juga memperhatikan unsur kodrat mereka sebagai wanita.
            Ajaran Gereja yang paling mutakhir tentang perempuan ditemukan dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ajaran Iman, yaitu Kerjasama Pria dan wanita dalam Gereja dan Dunia. Dokumen ini dipromulgasikan tanggal 31 Mei 2004. Isi dokumen ini berupa pandangan-pandangan teologis tentang martabat perempuan; “Manusia itu pribadi, pria dan perempuan sama-sama sebagai pribadi, karena keduanya diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang juga pribadi. Kesetaraan martabat mereka sebagai pribadi-pribadi diwujudkan sebagai komplementaritas fisik, psikologis dan ontologis dan menimbulkan relasi serasi dwitunggal yang dijadikan konflik oleh dosa dan struktur dosa yang tergores dalam budaya (no 8). Artikel ini menunjukkan relasi yang saling membutuhkan antara pria dan wanita. Komplementaritas mengandaikan tetap adanya perbedaan dan ketidaksamaan yang justru membuat laki-laki dan perempuan bisa saling melengkapi dan menyempurnakan[13]. Disini nampak jelas bahwa perbedaan jenis kelamin bukanlah hal untuk saling merendahkan satu terhadap yang lain melainkan saling melengkapi. Perbedaan antara pria dan wanita menjadi sarana untuk saling mengisi kekurangan masing-masing. Nilai komplementaritas ini hanya akan dimungkinkan apabila adanya sikap saling menghargai satu terhadap yang lain. Komplementaritas akan menjadi berarti dan bermakna jika perempuan dan laki-laki saling menjunjungtinggi sikap saling menghargai dan menghormati. Sikap ini semestinya direalisasikan kedalam kehidupan harian. Namun perlu dibedakan bahwa nilai komplementaritas tidak sama dengan penyamaan sikap atau karakter antara pria dan wanita. Diri seorang perempuan tidak dapat diidealkan sama seperti diri seorang laki-laki, ataupun sebaliknya diri seorang laki-laki tidak dapat diidealkan sama seperti diri seorang wanita. Masing-masing pribadi tetap memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Diri seorang perempuan mempunyai kekhasannya sendiri yang bisa disumbangkan bagi kelangsungan hidup, demikian juga diri seorang laki-laki memiliki kekhasan yang juga bisa disumbangkan untuk kepentingan hidup bersama. Singkatnya diri seorang perempuan dan laki-laki memiliki keistimewaan-keistimewaan yang dapat dipergunakan untuk saling melengkapi. “Dalam kesatuan keduanya pria dan perempuan sejak semula dipanggil untuk hidup tak hanya berdampingan atau bersama, melainkan juga dipanggil yang satu bagi yang lain (No 6). Relasi harmonis dan saling melengkapi ini adalah ideal yang direncanakan oleh Allah[14]. Jika kesatuan antara pria dan wanita merupakan suatu panggilan, maka diciptakan suatu relasi untuk saling menghargai satu terhadap yang lain.

3.3 Solusi Untuk Kesetaraan Gender
            Persoalan jender merupakan persoalan kemanusiaan. Persoalan ini telah mengakar dalam kebudayaan masyarakat dunia dan Indonesia umumnya dan masyarakat Sumba khususnya. Persoalan jender bagi masyarakat Sumba lebih dititikberatkan pada persoalan adat dan tradisi. Pemberlakuan adat dan tradisi yang menyimpang menyebabkan ketidakadilan dan kesenjangan jender. Hal ini menimbulkan praktik-praktik pendiskriminasikan terhadap perempuan. Sejauh ini ada beberapa tindakan kekerasan dan  pelecehan terhadap perempuan. Peristiwa atau tindakan kekerasan ini tidak terlepas dari pemahaman masyarakat Sumba bahwa perempuan merupakan kelompok kelas dua. Pemberlakuan tradisi belis (mahar) menjadi alasan pembenaran bagi pihak laki-laki untuk menindas kaum perempuan. Dan alasan ini diterima begitu saja oleh sebagian besar masyarakat Sumba sebagai sebuah kebenaran. Bagi mereka adat dan tradisi merupakan tatanan nilai sosial yang harus diterima dan dipatuhi. Pengingkaran atau pelanggaran terhadap budaya dan tradisi dinilai sebagai biang malapetaka. Karena itu semua masyarakat mewajibkan diri untuk hidup dibawah tuntutan aturan budaya dan tradisi.
            Namun dalam kehidupan jaman modern ini, tatanan budaya dan tradisi perlu dikritisi. Pemberlakuan tradisi dan budaya yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan perlu dihindari. Nilai martabat manusia harus ditegakan. Hal ini karena nilai martabat manusia jauh lebih berharga daripada pemberlakuan sebuah ritual budaya atau tradisi. Karena itu perlu adanya tindakan-tindakan kreatif untuk membangun kesadaran atas kesamaan jender. Untuk membangun kesadaran ini kita bisa mengambil beberapa dasar alkitabiah yang berbicara tentang kesamaan jender. Yang paling menonjol dalam berbicara tentang kesamaan jender adalah rasul Paulus. Rasul Paulus menegaskan ajarannya kepada umat di Galatia bahwa tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. “Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman didalam Kristus. Karena kamu semua yang dibaptis dalam Kristus telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu didalam Kristus Yesus,” (Gal 3:26-28). Pernyatakan Paulus ini mau menunjukkan bahwa didalam baptisan semua orang mempunyai martabat yang sama. Karena melalui Kristus semua umat manusia satu kesatuan. Karena itu tidak ada pemisahan dan perbedaan antara pria dan wanita. Jadi menurut Paulus laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama karena itulah keadaan yang dikaruniakan Allah dalam Kristus Yesus[15]. Hal ini harus menjadi cita-cita kita bersama untuk direalisasikan kedalam kehidupan kita.  Perjuangan Paulus untuk kesederajatan jender juga nampak dalam pewartaannya kepada jemaat di Korintus. Dalam 1 Kor 11:3-16, Paulus membela kedudukan wanita dalam Gereja. Menurut Paulus baik wanita maupun laki-laki mempunyai kedudukan yang sama dihadapan Tuhan. “Namun demikian dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan dan segala sesuatu berasal dari Allah” (I Kor 11:11-12). Menurut Paulus baik laki-laki maupun perempuan adalah setara dan saling tergantung.  Perempuan dan laki-laki tidak dapat hidup sendiri melainkan saling melengkapi satu terhadap yang lain. Para feminis juga memperhatikan kisah-kisah hubungan Yesus dan perempuan sebagaimana yang dikisahkan didalam injil. Seperti kisah perjumpaan Yesus dengan seorang wanita Samaria di tepi sumur (Yoh 4) seringkali dijelaskan dengan menekankan bahwa Yesus menyatakan kemesiasanNya untuk pertama kali kepada simbol orang yang tersisih yakni seorang perempuan yang reputasinya jelek dan seorang Samaria[16]. Teks ini diinterpretasikan sebagai pembelaan Yesus kepada kaum perempuan yang kerapkali disisihkan oleh masyarakat. Kehadiran Yesus oleh kaum feminis dipandang sebagai figur yang mengangkat nilai dan martabat perempuan. Yesus sebagai tokoh yang memperjuangkan kesetaraan jender.
 Selain beberapa pendasaran alkitabiah ada juga beberapa langkah yang ditempuh dalam usaha kesetaraan jender;
a.       Merubah ideologi dan kemapanan tradisi.  Tradisi yang membelenggu martabat perempuan terkadang berkembang menjadi suatu ideologi. Karena itu baik ideologi maupun praktek tradisi yang merendahkan martabat perempuan perlu dihilangkan.
b.      Penghargaan wajar terhadap perempuan. Sudah selayaknya semua manusia untuk saling menghargai dan menghormati. Baik perempuan maupun laki-laki harus menciptakan suatu keharmonisan dalam berelasi. Karena dengan demikian harkat dan martabat kita sebagai manusia ditegakan.
c.       Pemberdayaan kaum perempuan dalam keluarga dan masyarakat meliputi semua bidang. Dalam bidang ekonomi misalnya tidak mengurung dan tidak membebani para wanita. Dalam bidang politik; tidak ada dominasi dalam pengambilan keputusan. Dan dalam bidang sosio-budaya; tidak adanya pembakuan pola relasi perempuan dengan laki-laki yang tidak adil. Dengan kata lain dalam setiap lingkup kehidupan tidak ada dominasi, peminggiran, kekerasan dan pelecehan[17].
Ketiga hal ini kiranya menjadi langkah dasar dalam memperjuangkan kesetaraan jender antara laki-laki dan perempuan.

IV. Penutup
Kebebasan adalah hak setiap insan
      Allah menciptakan manusia baik laki-laki maupun perempuan sederajat sebagai citraNya, sama dalam martabat dan hak. Perempuan dan laki-laki adalah sama dihadirat Allah, setara dengan kelebihan dan panggilan serta tanggungjawab masing-masing, bahkan mereka dicipta untuk menjadi insan Allah bagi sesama[18]. Namun disisi lain ada juga perbedaan signifikan dalam dimensi psikologi, biologis maupun fungsi. Sebagai insan-insan Allah yang mempunyai harkat dan martabat yang sama dihadapan Allah, manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai suatu kewajiban untuk saling menghargai. Sikap penghargaan ini sebagai ungkapan atas kehormatan terhadap Allah yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan. Pada taraf ini kepribadian manusia baik perempuan maupun laki-laki mengandung nilai tertinggi karena diri manusia diciptakan seturut citra Allah. Karena itu sesama manusia patut menjunjungtinggi sikap saling  menghormati karena sesamanya merupakan gambaran diri Allah sendiri. Perempuan dan laki-laki mempunyai kemampuan untuk saling menghargai, menjaga dan saling memelihara. Karena secara alamiah perempuan dan laki-laki saling membutuhkan. Meniadakan salah satunya adalah mustahil. Oleh karena itu perlu dihindari segala bentuk ketidakadilan atau kekerasan yang berbias jender. Karena perempuan dan laki-laki diciptakan setara dan sederajat. Demikian juga segala bentuk praktek budaya dan tradisi yang menindas kaum perempuan juga perlu dihindari. Seperti pemberlakuan budaya belis (mahar) dalam tradisi Sumba perlu dihilangkan. Karena budaya belis ini menyebabkan kesenjangan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Hal ini tidak sesuai dengan ajaran rasul Paulus dan Yesus sendiri yang memperjuangkan kesetaraan jender. Atau juga tidak sesuai dengan Ajaran Sosial Gereja yang menekankan adanya sikap saling menghargai antara laki-laki dan perempuan.


Daftar Pustaka

Banawiratma. J.B.,
1997 Masalah-Masalah Jender Dan Tali-Temalinya, Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial KWI, Jakarta.
Hadiwardoyo, A. P.,
      2006 7 Masalah Sosil Aktual, Kanisius, Yogyakarta.
Russell L.M.,
      1998 Perempuan Dan Tafsir Kita Suci, Kanisius, Yogyakarta
Subadio M.U,. dan Ihromi, T.O.,
1994 Peranan dan Kedudukan wanita Indonesia, Gajah Mada University Pres, Yogyakarta.
Teresa, M dan Wahyudianto, A.,(Ed)
            2006 Geliat Membela Martabat Perempuan, Seri Filsafat Teologi Widya Sasana,  Malang.


[1] Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, Kanisius, Yogyakarta, 2006, 16.
[2] J.B Banawiratma, Masalah Jender dan Tali-Temalinya, Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial KWI, Jakarta, 1997,  20.
[3] J.B Banawiratma, Masalah Jender dan Tali-Temalinya, 21.
[4] J.B Banawiratma, Masalah Jender dan Tali-Temalinya, 21.

[5] B. Soelarto, Pustaka Budaya Sumba Jilid I, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Depertemen P dan K Republik Indonesia, Jakarta, 83-96.

[6] B. Soelarto, Pustaka Budaya Sumba Jilid I, 98.
[7] M.U.Subadio - T.O.Ihromi, (Ed),. Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, Gajah Mada University,  Yogyakarta, 1994, 205.
[8] Merry, Tesera, dan Agung wahyudianto, (Ed)., Geliat Membela Martabat Perempuan, Jurnal Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 2006, 102.
[9] Merry, Tesera, dan Agung wahyudianto., (Ed), Geliat Membela Martabat Perempuan, 105.
[10] Merry, Tesera, dan Agung Wahyudianto., (Ed),Geliat Membela Martabat Perempuan, 106.
[11] Merry, Tesera, dan Agung Wahyudianto., (Ed),Geliat Membela Martabat Perempuan, 108.
[12] Merry, Tesera, dan Agung Wahyudianto,. (Ed), Geliat Membela Martabat Perempuan, 109.
[13] Merry, Tesera, dan Agung Wahyudianto,. (Ed), Geliat Membela Martabat Perempuan, 117.  
[14] Merry, Tesera, dan Agung Wahyudianto,. (Ed), Geliat Membela Martabat Perempuan,117. 
[15] Merry, Tesera, dan Agung Wahyudianto,. (Ed), Geliat Membela Martabat Perempuan, 113.
[16] Letty M. Russell (Ed), Perempuan dan Tafsir Kita Suci, Kanisius, Yogyakarta, 1998, 54.
[17] J.B Banawiratma, Masalah Jender dan Tali-Temalinya, 46.
[18] Merry, Tesera, dan Agung Wahyudianto,. (Ed), Geliat Membela Martabat Perempuan, 164.